This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 05 Juni 2013

KEANEKARAGAMAN SERANGGA ARTHROPODA/INSEKTA YANG TERDAPAT PADA POHON-POHON DI ARBORETUM UMM

KEANEKARAGAMAN  SERANGGA  ARTHROPODA/INSEKTA YANG TERDAPAT PADA POHON-POHON  DI ARBORETUM UMM

BAB I
PENDAHULUAN

B. LATAR BELAKANG
    Serangga merupakan kelompok organisme yang paling banyak jenisnya dibandingkan dengan kelompok organisme lainnya dalam Phylum Arthropoda. Hingga saat ini telah diketahui sebanyak lebih kurang 950.000 spesies serangga didunia, atau sekitar 59,5% dari total organisme yang telah dideskripsi (Sosromartono, 2000). Tingkat keragaman serangga yang sangat tinggi dapat beradaptasi pada berbagai kondisi habitat, baik yang alamiah seperti hutan-hutan primer maupun habitat buatan manusia seperti lahan pertanian dan perkebunan (Siswanto & Wiratno, 2001).
    Tingginya keanekaragaman serangga berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas produk pertanian yang dihasilkan. Kestabilan populasi hama dan musuh alaminya umumnya terjadi pada ekosistem alami sehingga keberadaan serangga hama pada pertanaman tidak lagi merugikan. Kenyataan tersebut perlu dikembangkan sehingga mampu menekan penggunaan pestisida untuk menekan serangga hama di lapangan, terutama pada tanaman-tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi (Siswanto & Wiratno, 2001).
Informasi tentang keanekaragaman hayati pada areal perkebunan dan persawahan kini sangat diperlukan dalam mendukung perkembangan komoditas tersebut secara organik untuk terwujudnya sistem pertanian berkelanjutan dan berbasis pada kelestarian ekosistem. Organisme yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan budidaya tanaman kini adalah serangga .

Keanekaragaman serangga baik dalam hal kelimpahan dan kepunahan maupun kekayaannya juga sangat terkait dengan tingkat tropik lainnya. Hal ini disebabkan adanya interaksi yang terjadi, baik diantara kelompok fungsional serangga maupun dengan tumbuhan yang selanjutnya akan membentuk keanekaragaman serangga itu sendiri. Penurunan keanekarangaman spesies serangga herbivora dapat menimbulkan ”efek domino” terhadap keanekaragaman musuh alami serangga-serangga tersebut. Kemungkinan ini cukup beralasan karena serangga mendukung hampir setengah dari jumlah spesies predator dan parasitoid (Bernays, 1998).
Alasan lainnya adalah sebagian besar spesies serangga berifat monofag. Dari hasil inventori yang dilakukan terhadap 5000 spesies serangga di Inggris diketahui bahwa 80% diantaranya bersifat monofag dan kurang dari 10% memakan tanaman lebih dari 3 famili (Schoonhoven et all., 1998). Selain itu setiap spesies serangga membutuhkan mikrohabitat yang unik atau spesifik. Semakin sedikit spesies tumbuhan yang dijumpai pada suatu areal, semakin sedikit variasi mikrohabitat yang tersedia dan semakin sedikit pula spesies serangga yang mampu didukungnya. Oleh karena itu upaya yang serius untuk menunjang ketersediaan mikrohabitat tersebut perlu dilakukan.
    Mengingat jumlahnya amat banyak serangga amat berperan bagi ekosistem dan bagi keberadaan manusia di bumi. May Berenbaum (1995), entomologist dari University of Illinois menyatakan peran serangga sebagai berikut: ‚like it or not, insects are a part of where we have come from, what we are now, and what we will be‛. Beberapa contoh dapat disampaikan di sini, seperti penyuburan tanah, siklus nutrisi, propagasi tanaman, polinasi dan penyebaran tanaman, termasuk menjaga struktur komunitas hewan melalui rantai dan jaring makanan. Sebagai kelompok organisme yang amat penting bagi ekosistem, para ahli menyatakan bahwa keberadaan suatu spesies beberapa serangga dinyatakan sebagai ‚keystone species‛, misalnya peran rayap sebagai dekomposer, atau pun serangga yang hidup dalam ekosistem akuatik, yang berperan dalam siklus nutrisi untuk kehidupan organisme di dalam air (Gullan dan Cranston, 2005).
   

   
    Contoh lainnya adalah nyamuk. Bila jentik nyamuk tidak ditemukan dalam suatu ekositem perairan, ratusan ikan harus mengubah cara makan mereka agar dapat tetap bertahan hidup. Tetapi masalahnya tidak sesederhana itu karena perilaku makan ikan sudah tercetak secara genetis, sehingga hilangnya jentik nyamuk dapat mengakibatkan matinya ikan yang akhirnya dapat berakibat terganggunya jaring dan rantai makanan (Fang, 2010) ..
    Bagi manusia, tanpa kita sadari, sebagian besar makanan yang kita makan sekitar 50% keberadaannya tergantung pada serangga karena serangga membantu penyerbukan sekitar 80% dari semua tumbuhan yang berbunga yang ada di bumi. Kebergantungan manusia pada serangga tidak hanya terhadap makanan yang berasal dari tumbuhan tetapi juga makanan yang berasal dari hewan, karena hewan memakan tumbuhan yang keberadaannya banyak dibantu oleh aktivitas serangga.

C. RUMUSAN MASALAH
    Berdasarkan uraian diatas, rumusan masalah penelitian untuk mendapatkan data statistik  keanekaragaman serangga Insekta di arboretum UMM
D. BATASAN MASALAH
Berdasarkan rumusan masalah tersebut , maka batasan masalah penelitian ini adalah:
    Serangga yang diteliti adalah serangga Insekta yang berada     di Arboretum
    Serangga yang masih berbentuk larva ataupun telur tidak termasuk  penelitian
    Serangga yang menjadi sampel adalah serangga yang masuk perangkap.
E. TUJUAN PENELITIAN
    untuk mengetahui keanekaragaman serangga Insekta yang terdapat di arboretum UMM
    Untuk mempelajari kelimpahan dan keanekaragaman serangga yang ada di arboretum


F. MANFAAT PENELITIAN
    Penelitian ini dapat dijadikan :
    Sebagai informasi bagi masyarakat dan mahasiswa mengenai Keanekaragaman Serangga Insekta yang terdapat di Arboretum sekitar UMM
    Sebagai bahan Kajian bagi mahasiswa biologi khususnya mata kuliah Ekologi hewan yang berhubungan dengan serangga
    pengetahuan tentang hubungan antara tanaman dengan serangga hama dapat digunakan untuk menentukan pengendalian yang efektif. Adanya  data biologis atau ekologis mengenai serangga dengan lingkungannya secara menyeluruh akan membantu pengelolaan hama secara tepat

G. TINJAUAN PUSTAKA
a.    Keanekaragaman  Spesies
    Keanekaragaman spesies adalah perbandingan antara jumlah spesies dan jumlah total individu dalam suatu komunitas yang berkaitan dengan kestabilan lingkungan dengan komunitas yang berbeda. Keanekaragaman memiliki peranan penting untuk menentukan batas kerusakan yang dilakukan terhadap sistem alam oleh turut campurnya manusia (Michael, 1994)
    Keanekaragaman spesies dapat diambil untuk menandai jumlah spesies dalam suatu daerah tertentu atau sebagai jumlah spesies di antara jumlah total individu dari seluruh spesies yang ada. Keanekaragaman yang tinggi menunjukan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi, karena dalam komunitas itu terjadi interaksi spesies yang tinggi pula. Jumlah spesies dalam komunitas adalah penting dari segi ekologi, karena keanekaragaman spesies akan bertambah bila komunitas stabil. Ganggauan parah dapat menyebabkan penurunan yang nyata dalam keanekaragaman. Keanekaragaman yang besar juga mencirikan sejumlah besar populasi (Michael, 1994) 




b.    Tinjauan umum tentang Serangga
Serangga memiliki nama ilmiah Insecta, dan merupakan salah satu dari kelas binatang beruas atau Arthropoda. Serangga disebut juga heksapoda yang berasal dari kata heksa yang artinya 6 (enam) dan kata podos yang berarti kaki. Kelas insekta termasuk dalam sub filum Atelocerata. Insekta merupakan kelas terbesar dalam filum arthropoda, beranggota 675.000 spesies yang tersebar disemua penjuru dunia. Insekta merupakan invertebrata yang hidup di darat, di tempat kering dan dapat terbang (Jasin, 1993).
Menurut Lilies (1991) kelas insekta dibedakan menjadi 2 subkelas yaitu subkelas Apterygota (serangga tak bersayap) clan subkelas pterygota (serangga bersayap). Kelas serangga herbivora terbagi dalam beberapa ordo diantaranya yaitu :
1.    Ordo Protura
Termasuk serangga primitif dengan tubuh hanya beberapa milimeter. Tidak mempunyai sayap, antena, dan mata, tetapi memiliki bintik hitam di kiri kanan kepala. Fungsi antena digantikan oleh kaki depan yang selalu diangkat ke atas, sehingga berjalan hanya dengan kaki depan dan belakang. Habitatnya di tempat sejuk dan lembap, seperti di bawah batu-batuan, serasah, tanah berhumus, batang pohon roboh, dan di kulit pohon. Terdiri atas lebih dari 100 jenis teridentifikasi.
2.    Ordo Diplura
Langsing dan kecil, berukuran 5-10 mm. Tidak bersayap dan tidak bermata, antena panjang. Ekornya berupa sepasang rambut atau pencapit. Hidup tersembunyi di tempat-tempat lembap, di bawah serasah, sampah, humus, batu-batuan, dan sebagainya. Gerakannya cepat dan takut cahaya. Makan tanaman segar atau busuk, jamur, dan binatang kecil. Jenis teridentifikasi sekitar 100 jenis.
3.    Ordo Collembola (agas-agas)

Termasuk serangga bertubuh kecil dengan panjang beberapa milimeter dan tidak bersayap. Antena cukup panjang, umumnya bermata. Di ujung bawah abdomen terdapat semacam ekor untuk meloncat. Menyukai lingkungan yang basah atau lembap, biasa ditemukan di antara lumut, humus, sampah, sarang semut dan rayap, gua, serta di sekitar perairan tawar maupun laut. Agas-agas yang hidup di sarang semut atau rayap tidak bermata dan berekor pegas. Makanan utamanya spora dan semaian tanaman. Agas-agas yang hidup di permukaan air makan ganggang renik. Jenis teridentifikasi mencapai 1500.

4.    Ordo Thysanura (perak-perak/renget)
Menyukai lingkungan yang sejuk dan lembap seperti di hutan, kebun, dan juga lingkungan kering dalam rumah seperti pada laci meja, lemari pakaian, lemari buku, tumpukan kertas/karton, serta gudang. Beberapa hidup di sarang semut atau rayap. Tubuhnya gepeng mengecil ke belakang atau agak silindris, panjang 10-20 mm, bersisik putih keperak-perakan, kelabu, atau coklat kehitaman, dan mengkilat.
Kepalanya agak besar, berantena panjang, bermata besar atau kecil, dan tidak bersayap. Jenis yang hidup di sarang semut atau rayap tidak bermata. Berekor berupa 2-3 rambut kaku panjang yang dinamakan sersi. Gerakannya cepat, umumnya menghindari tempat-tempat terang. Makanannya tumbuhan mati dan busuk, jamur, lumut, jili dan buku, kertas, dan juga pakaian. Jenis teridentifikasi sekitar 40 jenis, contoh yang biasa ditemukan dalam rumah adalah Lepisma saccharina.
5.    Ordo Orthoptera (belalang, jangkrik)

Serangga ini memiliki antena yang hampir selalu lebih pendek dari tubuhnya dan juga memiliki ovipositor pendek. Suara yang ditimbulkan beberapa spesies belalang biasanya dihasilkan dengan menggosokkan femur belakangnya terhadap sayap depan atau abdomen (disebut stridulasi), atau karena kepakan sayapnya sewaktu terbang. Femur belakangnya umumnya panjang dan kuat yang cocok untuk melompat. Serangga ini umumnya bersayap, walaupun sayapnya kadang tidak dapat dipergunakan untuk terbang.

6.    Ordo Blattaria (lipas)
Sudah hidup sejak zaman karbon (350-270 juta tahun yang lalu). Pada kedua sisi kepala terdapat mata majemuk berwarna hitam. Tepat di bawah mata terdapat cekungan tempat keluar antena filliform (bentuk benang). Di antara kedua pangkal antena terdapat mata tunggal yang disebut osellus.
Lipas mempunyai mulut tipe penggigit dan pengunyah. Memiliki dua pasang sayap. Sayap depan disebut tegmina, liat seperti kulit atau perkamen, tidak tembus cahaya, untuk melindungi sayap belakang yang lebih besar, halus, tipis, transparan, serta digunakan untuk terbang. Habitatnya adalah hutan, pemukiman manusia, serta tempat gelap, kotor, dan lembap. Makanannya berupa daun yang mulai membusuk, ranting lapuk, bahan dan sisa makanan manusia, bahkan kotoran manusia.
Dapat menularkan penyakit disentri (Entamoeba hystolica), lepra (Mycobacterium leprae), mycorysis yaitu keracunan saluran pencernaan akibat jamurAspergillus sp., serta menjadi inang cacing pita. Namun ada beberapa jenis yang hidup di hutan dan timbunan sampah yang berperan sebagai perombak sisa-sisa tanaman atau bangkai hewan sehingga membantu menyuburkan tanah.
7.    Ordo Mantodea (belalang)
Belalang adalah serangga herbivora dari subordo Caelifera dalam ordo Orthoptera. Serangga ini memiliki antena yang hampir selalu lebih pendek dari tubuhnya dan juga memiliki ovipositor pendek. Suara yang ditimbulkan beberapa spesies belalang biasanya dihasilkan dengan menggosokkan femur belakangnya terhadap sayap depan atau abdomen (disebut stridulasi), atau karena kepakan sayapnya sewaktu terbang. Femur belakangnya umumnya panjang dan kuat yang cocok untuk melompat. Serangga ini umumnya bersayap, walaupun sayapnya kadang tidak dapat dipergunakan untuk terbang. Belalang betina umumnya berukuran lebih besar dari belalang jantan.


8.    Ordo Lepidoptera (kupu-kupu)
Kupu-kupu dan ngengat (rama-rama) merupakan serangga yang tergolong ke dalam ordo Lepidoptera, atau 'serangga bersayap sisik' (lepis, sisik dan pteron, sayap). Secara sederhana, kupu-kupu dibedakan dari ngengat alias kupu-kupu malam berdasarkan waktu aktifnya dan ciri-ciri fisiknya. Kupu-kupu umumnya aktif di waktu siang (diurnal), sedangkan gengat kebanyakan aktif di waktu malam (nocturnal). Kupu-kupu beristirahat atau hinggap dengan menegakkan sayapnya, ngengat hinggap dengan membentangkan sayapnya. Kupu-kupu biasanya memiliki warna yang indah cemerlang, ngengat cenderung gelap, kusam atau kelabu. Meski demikian, perbedaan-perbedaan ini selalu ada perkecualiannya, sehingga secara ilmiah tidak dapat dijadikan pegangan yang pasti. (van Mastrigt dan Rosariyanto, 2005). Kupu-kupu dan ngengat amat banyak jenisnya. Di Jawa dan Bali saja tercatat lebih dari 600 spesies kupu-kupu. Jenis ngengatnya sejauh ini belum pernah dibuatkan daftar lengkapnya, akan tetapi diduga ada ratusan jenis (Whitten dkk., 1999).
9.    Ordo Hymenoptera (tawon, lebah)
Lebah madu adalah salah satu jenis serangga dari sekitar 20.000 spesies lebah. Saat ini ada sekitar tujuh spesies lebah madu yang dikenal dengan sekitar 44 subspesies. Semua spesies ini termasuk dalam genus Apis. Mereka memproduksi dan menyimpan madu yang dihasilkan dari nektar bunga. Selain itu mereka juga membuat sarang dari lilin, yang dihasilkan oleh para lebah pekerja di koloni lebah madu.
10.    Ordo Coleoptera (kumbang)
Kumbang adalah salah satu binatang yang memiliki penampilan seperti kebanyakan spesies serangga. Ordo Coleoptera, yang berarti "sayap berlapis", dan berisi spesies yang sering dilukiskan di dalamnya dibanding dalam beberapa ordo lain dalam kerajaan binatang. Empat puluh persen dari seluruh spesies serangga adalah kumbang (sekitar 350,000 spesies), dan spesies baru masih sering ditemukan. Perkiraan memperkirkan total jumlah spesies, yang diuraikan dan tidak diuraikan, antara 5 dan 8 juta. Kumbang dapat ditemukan hampir di semua habitat, namun tidak diketahui terjadi di lautan atau di daerah kutub. Interaksi mereka dengan ekosistem mereka dilakukan dengan berbagai cara. Mereka sering makan pada tumbuhan dan jamur, merusak pertahanan binatang dan tumbuhan, dan memangsan invertebrata lain. Beberapa spesies dimangsa berbagai binatang seperti burung dan mamalia. Jenis tertentu merupakan hama agrikultur, seperti Kumbang kentang Colorado Leptinotarsa decemlineata.

Keanekaragaman spesies terdiri dari 2 komponen yakni :
1.   Jumlah spesies dalam komunitas yang sering disebut kekayaan spesies

2. Kesamaan spesies. Kesamaan menunjukkan bagaimana kelimpahan species itu (yaitu  jumlah  individu,  biomass,  penutup  tanah,  dsb)  tersebar  antara banyak species itu. (Anonimous, 2008).

Serangga ditemukan hampir di semua ekosistem. Semakin banyak tempat dengan berbagai ekosistem maka terdapat jenis serangga yang beragam. Serangga yang berperan sebagai pemakan tanaman disebut hama, tetapi tidak semua serangga berbahaya bagi tanaman. Ada juga serangga berguna seperti serangga penyerbuk dan pemakan tumbuhan. Untung (1996) berpendapat bahwa setiap serangga mempunyai sebaran khas yang dipengaruhi oleh biologi serangga, habitat dan kepadatan populasi.
H. METODE PENELITIAN
    Penelitian ini Menggukan metode survey  yaitu Pengambilan sampel artropoda secara langsung dengan menggunakan perangkap pitfal (pitfall trap) dan  jaring  (Sweepnet)

F. ALAT DAN BAHAN
a. Alat
a)    (pitfall trap)
b)    jaring (Sweepnet).
c)    Kamera
d)    Cangkul
e)    Gelas aqua
f)    Plastik
b. Bahan
a)    Air Sabun

G. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

    Tempat pengambilan sampel di arboretum yaitu lingkungan konservasi yang ada di  Universitas Muhammadiyah Malang. Penellitian di laksanakan pada Bulan April dan Bulan  Juni selama 2 Hari

H. CARA KERJA
Tahap persiapan
1.    Melakukan observasi ke lokasi penelitian
2.    Menentukan waktu Penelitian
3.    Mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian

Tahap pelaksanaan
Penangkapan dengan pitfall trap
1.    Memasang Perangkap pitfall trap di dalam tanah , dan  permukaan pitfall trap harus rata dengan tinggi tanah, pitfall trap di letakkan di  bawah pohon-pohon. masing-masing pohon 1 buah  phitfall trap dengan jarak antar pitfall trap  ± 1 m
2.    Mengisi pitfall trap dengan air campuran sabun hingga penuh.
3.    Penagkapan pitfall trap  dipasang selama 12 jam
4.     Memasukkan serangga  yang tertangkap ke palstik, dan mengidentifikasi jenis sewrangga tersebut

Penangkapan dengan  jaring  (Sweepnet).
1.     melakukan  Penangkapan dengan jaring secara langsung terhadap arthropoda yang berterbangan  di sekitar pohon-pohon di arboretum
2.    Mengidentifiasi jenis serangga yang tertangkap

I. TEKNIK ANALISI DATA
    Perhitungan keanekaragaman Arthropoda dihitung dengan menggunakan rumus jumlah famili dibagi dengan akar jumlah total individu yang ada di lapangan (Michael, 1994)


    Kriteria untuk nilai keanekaragaman Shannon H` menggunakan kriteria yang telah dimodifikasi oleh Suana dan Haryanto (2007) sebagai berikut:



    Sedangkan perhitungan kelimpahan masing- masing famili yang paling dominan di lapangan adalah dengan menghitung jumlah individu satu famili  terkoleksi dibagi dengan jumlah total  individu seluruh famili selama pengamatan atau  dapat ditulis dengan rumus (Michael, 1995)  :


















BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
    Berdasarkan hasil pengamatan keanekaragam serangga yang terdapat di pohon-pohon arboretum,  dalam penelitian tersebut menemukan beberapa jenis serangga yang termasuk arthropoda yang tersebar di beberapa tempat yaitu di bawah pohon,  di batang pohon dan di atas pohon dengan berterbangan, serangga yang terdapat di atas pohon dan di pohon ditanggap menggunakan metode penangkapan langsung dengan jaring, dan serangga yang terdapat di bawah pohon ditangkap dengan pitfall.
    Hasill tangkapan  jenis artropoda di identifikasi dan dikumpulkan berdasrkan   famili dalam bentuk tabel berikut:
No    Nama Spesies    Famili    Jumlah individu    Kelimpahan
1    Dissosteira carolina    Acrididae    4    6,56
2    Lubber grasshopper    lubberae    2    3,28
3    Ischnura senegalensis    Coenagrionidae    2    3,28
4    Orthetrum sabina
Libellulidae
3    4,92
5    Atractomorpha crenulata    Pyrgomorphidae    2    3,28
6    Borbo cinnara
Hesperiidae
3    4,92
7    Leptosia nina
Pieridae
2    3,28
8    Apis cerana
Apidae
1    1,64
9    Lasius fuliginosus    Formicidae    37    60,66
10    Anthomyia pluvialis    Anthomyiidae    4    6,56
11    Drosophila melanogaster    Drosophilidae    1    1,64
Total Individu    61   

Adapun klasifikasi  jenis serangga  klas insekta yang ditangkap adalah:
1. KLASIFIKASI BELALANG KUNING
Kingdom     : Animalia
Filum         : Artropoda
Kelas         : Insecta
Ordo         : Orthoptera
Family     : Acrididae
Genus         : Dissosteira
Spesies     : Dissosteira Carolina

2. KLASIFIKASI BELALANG RUMPUT
Kingdom     : animalia
Filum         : arthropoda
Kelas         : insecta'
Ordo         : orthoptera
Family     ; lubberae
Genus         : lubber
Spesies     : Lubber grasshopper

3. KLASIFIKASI CAPUNG JARUM
Kingdom    : Animalia
Phylum    : Arthropoda
Class        : Insecta
Order        : Odonata
Suborder    : Zygoptera
Superfamily    : Coenagrionoidea
Family        : Coenagrionidae
Genus        : Ischnura
Species    : Ischnura senegalensis

4. KLASIFIKASI CAPUNG HIJAU
Kingdom    : Animalia
Phylum    : Arthropoda
Class               : Insecta   
Order        : Odonata
Suborder    : Anisoptera
Superfamily    : Libelluloidea
Family        : Libellulidae
Genus        : Orthetrum
Species    : Orthetrum sabina

5. KLASIFIKASI BELALANG HIJAU
Kingdom               : Animalia
Subkingdom          : Bilateria
Superphylum         : Panarthropoda
Phylum                  : Arthropoda
Superclass             : Panhexapoda
Epiclass                 : Hexapoda
Class                      : Insecta
Subclass                : Dicondylia
Division                : Neoptera   
Superordo             : Orthopterida
Ordo                     : Orthoptera 
Subordo                : Caelifera
Superfamily           : Acridomorpha
Superfamily           : Pyrgomorphoidea 
Family                   : Pyrgomorphidae
Genus                   : Atractomorpha 
Specific name        : crenulata
Spesies                  : Atractomorpha crenulata


6. KLASIFIKASI KUPU-KUPU COKLAT
Kingdom    : Animalia
Phylum    : Arthropoda
Class        : Insecta
Order        : Lepidoptera
Superfamily    : Hesperioidea
Family        : Hesperiidae
Subfamily    : Hesperiinae
Genus        : Borbo
Species    :Borbo cinnara

7. KLASIFIKASI KUPU-KUPU PUTIH
Kingdom    : Animalia
Phylum    : Arthropoda
Class        : Insecta
Order        : Lepidoptera
Superfamily    : Papilionoidea
Family        : Pieridae
Subfamily    : Pierinae
Tribe        : Anthocharini
Genus        : Leptosia
Species    : Leptosia nina

8. KLASIFIKASI LEBAH MADU
Kerajaan    : Animalia
Filum        : Arthropoda
Kelas        : Insecta
Ordo        : Hymenoptera
Famili        : Apidae
Bangsa        : Apini
Genus        : Apis
apesies         : Apis cerana

9. KLASIFIKASI SEMUT HITAM
Kingdom     : Animalia
Ordo         : Hymenoptera
Divisi         : Holometabola
Klas         : Insecta
Famili         : Formicidae
Genus         : Lacius
Species     : Lasius Fuliginosus

10. KLASIFIKASI LALAT HITAM
Kingdom     : Animalia
Phylum     : Arthropoda
Class         : Insecta
Ordo        : Diptera
Family     : Anthomyiidae
Spesies     : Anthomyia Pluvialis

11. KLASIFIKASI LALAT MERAH
Kingdom     : Animalia
Phylum     : Arthropoda
Kelas         : Insecta
Ordo         : Diptera
Famili         : Drosophilidae
Genus         : Drosophila
Spesies     : Drosophila melanogaster
    Berdasarkan tabel hasil pengamatan,  tingkat kelimbahan tertinggi hewan arthropoda dari kelas insekta terdapat pada hewan semut hitam Lasius Fuliginosus, semut hitam yang tertangkap sejumlah 37 sedangkan kelimpahan terendah terdapat pada hewan Apis cerana dan Drosophila melanogaster yang memilki jumlah masing masing 1, dan hewan arthropoda yang lain memilki kelimpahan antar 4-6 dengan jumlah individu 2-6. Semut serangga yang memiliki peranan ekologi yang sangat penting,  kelimpahan arteropoda Semut diarboretum disebabkan karena semut merupakan serangga eusosial yang penyebarannya sangat luas dan semut memiliki memiliki kemampuan adaptasi sehingga keberadaannya mempu hidup disemua habitat seperti di pasir, padang rumbut, pepohonan dan tempat-tempat basah.
    Dalam setiap tempat Semut mencapai dominasi dalam hal jumlah individu dan biomasa hewan daratan. Di habitat alaminya, semut memiliki peran-peran ekologis yang penting. Pada ekosistem daratan, oleh karena itu semut  menjadi pemangsa utama terhadap invertebrata kecil. Semut dapat menggali sejumlah besar tanah sehingga menyebabkan terangkatnya nutrisi tanah. Semut membentuk simbiosis dengan berbagai serangga, tumbuhan, dan fungi. Tanpa bersimbiosis dengan semut, organisme tersebut akan menurun populasinya hingga punah. Selain sebagai pemangsa, semut juga adalah mangsa yang penting bagi berbagai serangga, laba-laba, reptil, burung, kodok, bahkan bagi tumbuhan karnivora. Peran. (Rozak.2006)
    Hasil perhitungan keanekaragaman arthropoda di arboretum tergologong rendah, keanekaragaman arthropoda insekta di arboretum H’=1,4  dari yang ditemukan 11 famili dan 61 individ, keanekaragaman artropoda yang rendah disebabkan oleh pemanfaatan dan perawatan habitat yang belum optimal. Menurut Pratiwi  et. al.  (1991), ada berbagai faktor yang mempengaruhi keanekaragaman yaitu pola rantai makanan, macam sedimen, kompetisi antar dan intra jenis atau individu. Kesamaan faktor ini merupakan gabungan kompleksitas yang sulit dijabarkan.
    Keanekaragaman artropoda dari kelas insekta di arboretum  kebanyakan termasuk  artropoda herbivora, keberadaan artropoda herbivora memilki peran yang penting dalam menyediakan makanan bagi artropoda predator dan artropoda parasitoid Sehingga keanekaragaman artropoda herbivora di arboretum tidak akan menimbulkan permasalahan serius. Hal ini karena adanya populasi predator dan parasitoid yang lebih tinggi di arboretum, secara alamiah artropoda parasitoid dan predator dapat menekan populasi herbivora dan dapat menjaga keseimbangan ekosistem artropoda ,
     Rendahnya keanekaragaman artropoda  juga disebabkan karena aplikasi pestisida terhadap tumbuh-tumbuhan di arboretum, pestisida dapat memberikan manfaat bagi tumbuhan tetapi pestisida juga memberikan efek yang negatif terhadapat keberlangsungan kehidupan  artropoda, pestisida dapat menjadi faktor utama menurunnya kelimpahan arthropoda dalam setiap  jenjang fungsional yang ada di agroekosistem arboretum. Flint dan Bosch (1990) mengemukakan bahwa pestisida  tidak hanya bersifat perusak biosfer melalui peracunan langsung dan tidak langsung terhadap organisme tetapi juga dapat mempengaruhi kelimpahan populasi jenis melalui penyederhanaan jaring-jaring makanan dari hewan pada jenjang tumbuh yang lebih tinggi.
    Menurut Oka (2005) penggunaan pestisida dapat membantu menekan populasi hama bila formulasi yang digunakan, waktu dan metode aplikasinya tepat.  Sebaliknya sekaligus menimbulkan akibat-akibat   samping  yang   tidak  diinginkan   diantaranya;  hama   sasaran  berkembang menjadi   tahan   (resisten)   terhadap   pestisida   dan  musuh-musuh   alami   serangga hama yaitu predator dan parasitoid juga ikut mati.











BAB III
KESIMPILAN
    Berdasarkan tabel hasil pengamatan,  tingkat kelimbahan tertinggi hewan arthropoda dari kelas insekta terdapat pada hewan semut hitam Lasius Fuliginosus, semut hitam yang tertangkap sejumlah 37 sedangkan kelimpahan terendah terdapat pada hewan Apis cerana dan Drosophila melanogaster yang memilki jumlah masing masing 1, dan hewan arthropoda yang lain memilki kelimpahan antar 4-6 dengan jumlah individu 2-6. Semut serangga yang memiliki peranan ekologi yang sangat penting,  kelimpahan arteropoda Semut diarboretum disebabkan karena semut merupakan serangga eusosial yang penyebarannya sangat luas dan semut memiliki memiliki kemampuan adaptasi sehingga keberadaannya mempu hidup disemua habitat.
    Hasil perhitungan keanekaragaman arthropoda di arboretum tergologong rendah, keanekaragaman arthropoda insekta di arboretum H’=1,4  dari yang ditemukan 11 famili dan 61 individ, keanekaragaman artropoda yang rendah disebabkan oleh pemanfaatan dan perawatan habitat yang belum optimal. Menurut Pratiwi  et. al.  (1991), ada berbagai faktor yang mempengaruhi keanekaragaman yaitu pola rantai makanan, macam sedimen, kompetisi antar dan intra jenis atau individu. Kesamaan faktor ini merupakan gabungan kompleksitas yang sulit dijabarkan







Daftar Pustaka

Bambang, Irwanto. 2008. Inventarisasi Hama-Hama Penting dan Parasitoid Pada Buah     Mangga (Mangifera sp) Di Laboratorium FAKULTAS PERTANIAN     UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN.
Bernays, E.A. 1998. Evolution of feeding behavior in insect herbivoras: Successeen as     different ways to eatwithout being eaten. Bioscience 48(1): 35-44.
Colwell, R.K. 2000. EstimateS: statistical estimate of species richness and shared     species from sample. Version 6.0b1 [serial online]. http://www.vicerov,eeb.ucoon.edu/estimates.
Mahrub, E. 1997.  Struktur Komunitas Arthropoda Pada Ekosistem Padi Tanpa     Perlakuan Insektisida. Dalam Kumpulan Prosiding Konggres Perhimpunan     Entomologi Indonesia V dan Simposium Entomologi. Bandung, 24 – 26 Juni     1997. Bandung
Siswanto & Wiratno. 2000. Biodervisitas serangga pada tanaman panili     (Vlanillaplanipolia) dengan tanaman penutup tanah Arachis pintoi K. (Proseding     Seminar Nasional III). Perhimpunan Entomologi Indonesia. Bogor.
Jumar. 2000. Entomologi Pertanian .Rineka Cipta : Jakarta
Lilies, S. Christina. 1991. Kunci Determinasi Serangga. Kanisius: Yogyakarta.
  http ://www.bingregory.com/wp-content/uploads/2009/12/kuini
http ://Zahrial fazri jonleo.blogspot.com, tanggal 16 April2013

Selasa, 07 Mei 2013

Tips Cara Belajar yang Baik, Cepat dan Efektif


Tips Cara Belajar yang Baik, Cepat dan Efektif
Tips Cara Belajar yang Baik, Cepat dan Efektif
Tips Cara Belajar yang Baik, Cepat dan Efektif - Bagi anda yang mau akan ujian dan mempunyai waktu dadakan biasanya mencari tips cara belajar yang baik, cepat dan efektif untuk bisa mempelajari materi yang akan di ujikan, jadi pada kesempatan kali ini saya tidak akan memberikan sebuah tips yang ajaib tetapi sebuah tips yang mungkin bisa membantu anda dalam menjalai proses ujian itu dengan baik dan berhasil.

Sebenarnya, saat belajar yang baik adalah di persiapkan di waktu jauh-jauh hari dengan mencoba mengerjakan soal-soal yang sesuai SKL atau sesuai materi yang akan di ujikan yang akan datang, tetapi bila anda termasuk seseorang yang malas atau tidak memperhatikan pelajaran jauh-jauh hari maka anda harus mencoba tips berikut ini :)

1. Perencanaan

    Rencana merupakan aspek terpenting untuk mempersiapkan diri anda menjelang ujian. Pastikan semua catatan anda sudah lengkap untuk dibaca ulang kembali.

2. Hilangkan keraguan

    Anda mungkin seringkali merasa ragu dengan kemampuan anda sendiri. Jadi, anda jangan ragu dengan dengan kemampuan anda sendiri, jika anda sudah melakukan usaha-usaha untuk dapat mempelajari materi. Yakinlah anda bisa!

3. Mengembangkan sikap positif

    Sangat penting untuk tetap memiliki sikap positif. Jangan biarkan pikiran negatif menyusup ke dalam pikiran Anda. Biasakan agar Anda tidak bermalas-malasan menjelang ujian atau bersikap santai dengan sistem belajar kebut semalam buatlah ringkasan-ringkasan materi dengan kertas-kertas yang menarik untuk di baca.

4. Mengonsumsi makanan sehat

    Sangat penting untuk menjaga kebugaran selama masa ujian. Pastikan bahwa Anda makan makanan yang kaya vitamin dan protein seperti sayuran hijau, buah-buahan, sereal dan telur. Hindari makanan berminyak dan junk food selama ujian. Nutrisi yang tepat sangat penting bagi otak untuk meningkatkan performanya secara maksimal.

5. Tidur nyenyak di malam hari

    Pastikan bahwa Anda mendapatkan tidur malam minimal tujuh jam sehari karena kebiasaan baik ini dapat membantu otak dan tubuh menjadi segar kembali.

Ini beberapa tips yang sudah saya coba semoga bermaanfaat bagi anda, untuk mempelajari materi dan membuat materi cepat masuk ke otak dalam waktu yang relatif cepat dan efektif.

Jumat, 19 April 2013

SOAL DAN JAWABAN UTS EKWAN


SOAL
1.    Konsep waktu-suhu yang berlaku pada hewan  poikilotermik sangat berguna aplikasinya dalam pengendalian hama pertanian, khususnya dari golongan serangga. Jelaskan arti konsep waktu secara singkat, dan berikan contoh ulasannya terkait dengan kasus ulat bulu yang menyerbu tanaman mangga di Probolinggo Tahun 2010.

2.    Jelaskan pemanfaatan konsep kelimpahan, intensitas dan prevalensi, disperse, fekunditas, dan kelulushidupan dalam kaitannya dengan penetapan hewan langka!

3.    Jelaskan aplikasi konsep interaksi populasi, khususnya parasitisme dan parasitoidisme, dalam pengendalian biologis. Berikan contohnya!

4.    Nilai sikap dan karakter apa yang harus ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan? Berikan contoh riilnya!

5.    Uraikan satu contoh pemanfaatan indikator hewan untuk monitoring kondisi lingkungan secara mendetail, mulai dari jenis, prinsip dan praktik pemanfaatannya!

6.    Apakah manfaat pengetahuan tentang relung bagi aktivitas konservasi? Berikan salah satu contoh hewan langka, lakukan kajian tentang relungnya. (dalam satu kelas, hewan yang dikaji tidak boleh sama)!


Jawaban No.1
    Hewan ektothermal (poikilterm) memerlukan kombinasi antara faktor waktu dan faktor suhu lingkungan. Hewan ektothermal (Poikiloterm) tidak dapat tumbuh dan berkembang bila suhu lingkungannya dibawah batas suhu minimum kendatipun  diberikan waktu yang cukup lama. Jadi suhu lingkungan menentukan suhu tubuh hewan poikiloterm. Bahkan suhu menajadi faktor pembatas bagi kehidupannya. 
Suhu tubuh pada hewan poikilotermik menentukan kerja enzim yang membantu metabolism di dalam tubuh.  Karena itu dari sudut pandang ekologi, kepentingan suhu lingkungan bagi hewan-hewan ektoterm tidak hanya berkaitan dengan aktivitasnya saja tetapi juga mengenai pengaruhnya terhadap laju perkembangannya.  Dalam suatu kisaran suhu tertentu, antara laju perkembangan dengan suhu lingkungan terdapat hubungan linier. Konsekuensinya ialah bahwa untuk hewan-hewan ektoterm lama waktu perkembangan akan berbeda-beda.  Dengan perkataan lain, pernyataan berapa lamanya waktu perkembangan selalu perlu disertai dengan pernyataan pada suhu berapa berlangsungnya proses perkembangan itu. Karena pada hewan ektoterm (Poikiloterm), waktu (berlangsungnya proses perkembangan) merupakan fungsi dari suhu lingkungan, maka kombinasi waktu-suhu yang seringkali dinamakan waktu fisiologis itu mempunyai arti penting.
    Konsep waktu-suhu penting untuk memahami hubungan antara waktu dengan keterjadian-keterjadian serta dinamika populasi hewan ektoterm (poikiloterm).  Sering timbul jenis serangga dalam jumlah besar yang terjadinya hampir tiap tahun pada waktu yang berbeda beda, merupakan suatu fenomena alam.  Kejadian tersebut bila ditelaah lebih lanjut akan terlihat bahwa terjadinya peledakan populasi itu berdasarkan pada jumlah hari derajat yang sama di atas suhu ambang perkembangan jenis serangga tersebut.
    Dengan menggunakan konsep-konsep waktu-suhu yang diwujudkan dalam bentuk jumlah hari-derajat, maka fenomena alam akibat proses perkembangan seperti peledakan populasi , dapat diramalkan kapan akan terjadinya.  Dalam bidang pertanian dan perkebunan, peramalan terjadinya peledakan suatu populasi, mempunayi nilai guna yang sangat penting. Sebab dengan diketahuinya jumlah hari-derajat perkembangan suatu jenis serangga hama, maka akan dapat ditentukan lebih tepat, kapan waktu dan teknik pemberantasan hama tersebut, karena memberantas telur atau pupa berbeda dengan memberantas hewan dewasanya.  
Sumber:
Prihatnawati, Yayuk. 2012. Aplikasi konsep waktu – suhu pada hewan poikiloterm dalam pengendalian hama pertanian. Makalah UM: Malang
    Suputa, dosen jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian UGM, memaparkan dugaan awal penyebab terjadinya serangan ulat bulu dikarenakan silica yang dihasilkan aktivitas gunung api, vegetasi hutan yang semakin langka, berkurangnya jumlah burung pemakan serangga,dan resistensi serta resurgensi hama terhadap zat kimia. Letusan Gunung Bromo menyebabkan ekosistem yang ada disekitarnya rusak berat. Pohon-pohon besar yang tumbuh di lereng Bromo sebagai  tempat berkembang biak ulat bulu dan para pemangsa alaminyamenjadi rusak. Akibatnya ulat bulu mencari tempat yang cocok untuk berkembang biak, termasuk pohon-pohon di pemukiman penduduk.Sementara itu, para pemangsa alami ulat mencari tempat berkembangbiak yang jauh dari pemukiman manusia..
    Ledakan jumlah organisme (ulat bulu) dapat dipicu oleh dua faktor, yakni keterkaitan ketersediaan nutrisi (food quality) bagi hamadan faktor lingkungan seperti faktor predator, parasit, dan suhu lingkungan.
    Ekosistem yang rusak menyebabkan ketersediaan makanan bagiulat bulu hilang, sehingga ulat bulu mencari tempat-tempat yang menyediakan pasokan makanan yang lebih banyak. Kerusakan ekosistem bisa karena bencana alam seperti banjir, letusan gunung berapi, tanah longsor, dan sebagainya. alam merupakan hal terparah yang tanpa disadari telah membuat ekosistem tempat berkembang biak ulat bulu dan predatornya rusak.
    Kepala KP4 UGM, Agus Cahyono (2011) menyampaikan, ”Faktor meningkatnya populasi ulat bulu disebabkan adanya perubahan iklim, rantai makanan yang rusak dengan banyak predator yang hilang seperti burung dan semut ngangrang akibat perburuan dan diperjualbelikan”.
    Perubahan iklim dan kerusakan rantai makanan merupakan masalah yang banyak disebutkan sebagai faktor penyebab wabah ulat bulu. Selain perubahan iklim, penggunaan pestisida berlebihan dalam membasmi hama juga menyebabkan musuh alami ulat bulu seperti serangga kecil tidak mampu bertahan hidup, sehingga tidak ada yang mengontrol populasi ulat bulu, akibatnya jumlah ulat bulu semakinbanyak dan berkembang biak dengan tidak terkendali. Seharusnya, musuh alami ulat bulu memberikan parasit pada telur ulat yang menyebabkan dari ribuan telur ulat hanya beberapa telur saja yang berhasil jadi ulat. Karena musuh alami ulat menghilang maka jumlah telur yang menetas semakin banyak
Sumber:
Fatoni, Mukhamad. 2011. Analisis Ilmiah Wabah Ulat Bulu Di Probolinggo. Makalah: Sumatara Selatan

Jawaban No. 2
    Tinggi rendahnya jumlah individu populasi suatu spesies hewan menunjukkan besar kecilnya ukuran populasi atau tingkat kelimpahan populasi itu. Area suatu populasi tidak dapat ditentukan batansnya secara pasti, sehingga kelimpahan (ukuran) populasi pun tidak mungkin dapat ditentukan. Hal demikian terutama berlaku bagi populasi alami hewan-hewan bertubuh kecil, terlebih yang nocturnal atau tempat hidupnya sulit dijangkau. Maka, digunakan pengukuran tingkat kelimpahan populasi per satuan ruang dari yang ditempati yaitu kerapatannya (kepadatannya). Kerapatan populasi suatu spesies hewan adalah rata-rata jumlah individu per satuan luas area (m2, Ha, km2) atau per satuan volume medium (cc, liter, air) atau per satuan berat medium (g, kg, tanah). Dalam hal-hal tertentu. kerapatan lebih memberikan makna bila dinyatakan per satuan habitat atau mirohabitat. Misalnya, sekian individu cacing usus per individu inang atau sekian individu werwng per rumpun padi.
Sehingga terdapat dua pengertian. Kerapatan (kasar) diukur atas satuan ruang habitat secara menyeluruh dan kerapatan ekologis (kerapatan spesifik) didasarkan atas satuan ruang dalam habitat yang benar-benar ditempatinya (microhabitat). Kerapatan spesifik lebih memberikan makna antar-hubungan ekologis. Seperti, dengan makin turunnya permukaan air danau, kerapatan populasi ikan dalam danau secara keseluruhan (kerapan kasar) menjadi berkurang, sedang kerapatan ekologisnya makin bertambah.
    Kelimpahan populasi suatu spesies mengandung dua aspek yang berbeda, yaitu aspek intensitas dan aspek prevalensi. Intensitas menunjukkan aspek tinggi rendahnya kerapatan populasi dalam area yang dihuni spesies. Prevalensi menunjukkan jumlah dan ukuran area-area yang ditempati spesies dalam konteks daerah yang lebih luas (masalah sebaran).
Suatu spesies hewan yang prevalensinya tinggi (=prevalen) dapat lebih sering dijumpai. Spesies yang prevalensinya rendah, yang daerah penyebarannya terbatas (terlokalisasi) hanya ditemui di tempat tertentu.Spesies hewan dapat dimasukkan dalam salah satu dari empat kategori berikut:
    prevalensi tinggi (=prevalen) dan intensitasnya tinggi
    prevalensi tinggi (=prevalen) tetapi intensitasnya rendah
    prevalensi rendah (=terlokalisasi) tetapi intensitasnya tinggi
    prevalensi rendah (=terlokalisasi) dan intensitasnya rendah.

    Contohnya Badak Jawa dan Jalak Bali bersifat endemic dan merupakan spesies langka yang terancam kepunahan. Kategorisasi status spesies dengan memperhitungkan dua aspek tersebut sangat penting terutama dalam menentukan urutan prioritas perhatian dan untuk melakukan upaya-upaya kelestarian spesies hewan langka yang terancam punah.
Spesies yang terlokalisasi dan intensitasnya rendah dikategorikan sebagai spesies langka. Adakalanya spesies yang intensitasnya tinggi namun prevalensinya rendah pun dimasukkan dalam kategori tersebut.

.
    Fekunditas secara umum berarti kemampuan untuk bereproduksi. Dalam biologi, fekunditas adalah laju reproduksi aktual suatu organisme atau populasi yang diukur berdasarkan jumlah gamet, biji, ataupun propagula aseksual. Dalam bidang demografi, fekunditas adalah kapasitas reproduksi potensial suatu individu ataupun populasi. Fekunditas berada di bawah kontrol genetik maupun lingkungan dan merupakan ukuran utama kebugaran biologi suatu spesies.
Pengetahuan mengenai fekunditas merupakan salah satu aspek yang memegang peranan penting dalam biologi perikanan. Fekunditas ikan telah dipelajari bukan saja merupakan salah satu aspek dari natural history, tetapi sebenarnya ada hubungannya dengan studi dinamika populasi, sifat-sifat rasial, produksi dan persoalan stok-rekruitmen (Bagenal, 1978).
Dari fekunditas secara tidak langsung kita dapat menaksir jumlah anak ikan yang akan dihasilkan dan akan menentukan pula jumlah ikan dalam kelas umur yang bersangkutan. Dalam hubungan ini tentu ada faktor-faktor lain yang memegang peranan penting dan sangat erat hubungannya dengan strategi reprodusi dalam rangka mempertahankan kehadiran spesies itu di alam.
Selain itu, fekunditas merupakan suatu subyek yang dapat menyesuaikan dengan bermacam-macam kondisi terutama dengan respons terhadap makanan. Jumlah telur yang dikeluarkan merupakan satu mata rantai penghubung antara satu generasi dengan generasi berikutnya, tetapi secara umum tidak ada hubungan yang jelas antara fekunditas dengan jumlah telur yang dihasilkan
Sumber:
http://nenkiuedubio.blogspot.com/2011/05/populasi-hewan.html



Jawaban No.3
Parasitoid contohnya terhadap  serangga yang meletakkan telurnya pada permukaan atau di dalam tubuh serangga lain yang menjadi inang atau mangsanya. Parasitoid sering juga disebut parasit. Kebanyakan serangga parasitoid hanya menyerang jenis hama secara spesifik. Salah satu contoh parasitoid ini adalah serangga yang dengan suku Eulophidae.
Serangga parasitoid dewasa menyalurkan suatu cairan atau bertelur pada suatu hama sebagai inangnya. Ketika telur parasitoid menetas, larva akan memakan inang dan membunuhnya. Setelah itu keluar meninggalkan inang untuk menjadi kepompong lalu menjadi serangga lagi.
Parasitoid sekelompok insect yang dikelompokkan dengan dasar perilaku bertelur betina dewasa dan pola perkembangan larva selanjutnya. Terutama untuk insect dari ordo Hymenoptera, dan juga meliputi banyak Diptera. Mereka hidup bebas pada waktu dewasa, tetapi betinanya bertelur di dalam, pada atau dekat insect lain. Larva parasitoid berkembang di dalam (atau jarang pada) individu inang yang masih tingkat pre-dewasa. Pada awalnya hanya sedikit kerusakan yang tampak ditimbulkan terhadap inangnya, tetapi akhirnya hampir dapat mengkonsumsi seluruh inangnya dan dengan demikian makan dapat membunuh inang tersebut sebelum atau sesudah stadium kepompong (pupa). Jadi parasitoid dewasa, bukan inang dewasa yang akan muncul dari kepompong. Sering hanya satu parasitoid yang berkembang dari tiap inang, tetapi pada beberapa kejadian beberapa individu hidup bersama dalam satu inang. Jelasnya parasitoid hidup bersama akrab dengan individu inang tunggal (seperti pada parasit)
Parasit, adalah hewan yang hidup pada hewan lain. Hidupnya sangat mempengaruhi inangnya karena semua zat makanan dari inang diserapnya untuk memenuhi kebutuhannya. Parasit berupa hewan kecil dan organisme kecil yanmg termasuk jamur dan bakteri pathogen.
Pengendalian biologi pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan OPT. Musuh alami ini meliputi predator, parasitoid dan patogen sebagai pengatur dan pengendali populasi OPT yang efektif karena sifat pengaturannya yang tergantung kepadatan. Artinya peningkatan populasi OPT akan diikuti oleh peningkatan predator hal ini terlihat dari meningkatnya daya makan per predator. Peningkatan populasi OPT akan diimbangi oleh tekanan yang lebih keras dari populasi musuh alami (Untung, 2003 : 169).
Martono (2005 : 1) dan Untung (2003 : 183) menyatakan dalam praktek pengendalian yang dilakukan sampai saat ini dapat dikelompokkan 3 kategori :
Pelepasan musuh alami secara teknik augmentasi hampir sama dengan cara introduksi, bedanya adalah teknik augmentasi yang kita harapkan adalah populasi hama dalam satu musim tanam dengan cepat dapat ditekan sehingga tidak merugikan, sedangkan teknik introduksi bertujuan dalam jangka panjang dapat menurunkan aras keseimbangan populasi OPT sehingga tetap berada di bawah aras ambang ekonomi. Teknik augmentasi menggunakan musuh alami yang sudah berfungsi di ekosistem, sedangkan introduksi menggunakan musuh alami dari luar ekosistem.
Keberadaan inang alternatif sangat penting dalam mendukung kelestarian parasitoid dan predator terutama yang bersifat polifag dan oligofag (Laba, et al., 2000 : 207). Adanya vegetasi yang tumbuh dipinggiran sawah sangat berperan dalam menyediakan tempat sebagai inang alternatif bagi predator dan parasitoid (Herlinda et al., 2000 : 163), dan ini perlu dipertahankan karena menguntungkan bagi pelestarian musuh alami pada ekosistem persawahan karena tanaman liar yang tumbuh di dipinggiran sawah tersebut mampu menyediakan bunga follen, nectar yang dibutuhkan oleh musuh alami.
Ekosistem persawahan yang intensif umumnya adalah monokultur sehingga kurang memberikan habitat yang sesuai bagi musuh alami karena terbatasnya nektar dan inang alternatif. Hal ini dapat diatasi dengan memanfaatkan tepian lahan, pematang yang ditumbuhi tumbuhan liar sebagai koridor yang berfungsi dalam menyediakan pollen, nektar yang diperlukan oleh musuh alami, sehingga berfungsi dalam menekan populasi hama (Buchori dan Sahari, 2000 : 127).



Sumber: 
Buchori, D., dan Sahari, B., 2000. Keanekaragaman Serangga danb Pengendalian Hayati. Antara Pertanian dan Konservasi Alam. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi Pertanian. PEI dan KEHATI. Cipayung Bogor. 127-132 pp.
Herlinda, S., Kandowangko, D.S., Winasa, IW., dan Rauf, A., 2000. Fauna Artropoda Penghuni Habitat Pinggiran di Ekosistem Persawahan. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi Pertanian. PEI dan KEHATI. Cipayung Bogor. 163-174 pp.
Laba, I.W., Djatnika, K., dan Arifin, M., 2000. Analisis Keanekaragaman Hayati Musuh Alami pada Ekosistem Padi Sawah. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi Pertanian. PEI dan KEHATI. Cipayung Bogor. 207-216 pp.
Untung, K, 2003. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
http://cvrahmat.blogspot.com/2011/03/ekologi-hewan.html
http://ryanegy.blogspot.com/2010/12/pengendalian-hama-secara-biologis.html

Jawaban No 4
    Sasaran utama dalam belajar ekologi hewan adalah pemahaman mengenai aspek-aspek dasar yang melandasi kinerja hewan-hewan sebagai individu, populasi, komunitas dan ekosistem yang ditempatinya, meliputi pengenalan pola proses interaksi serta faktor-faktor penting yang menyebabkan keberhasilan maupun ketidakberhasilan organisme-organisme dan ekosistem-ekosistem itu dalam mempertahankan keberadaannya. Berbagai faktor dan proses ini merupakan informasi yang dapat dijadikan dasar dalam menyusun permodelan, peramalan dan penerapannya bagi kepentingan manusia, seperti; habitat, distribusi dan kelimpahannya, makanannya, perilaku (behavior) dan lain-lain. Oleh karena itu karakter dan sikap yang harus dimiliki dalam pembelajaran ekologi hewan.
1.cinta terhadap lingkungan, biotik maupun abiotik
2.memilki kesadaran  tentang interelasi hewan dengan lingkungan biotic maupun abiotik
3. memilki kepedulian terhadap hewan-hewan yang terancam punah
4. melakukan konservasi
5.mendirikan eko wisata
6.menyuarakan gerakan cinta lingkungan
    Sikap yang harus dilakukan seperti  diatas maka akan bermanfaat dalam memprediksi kelimpahan hewan  dan menganalisis keadaannya serta peranannya dalam ekosistem, serta menjaga kelestariannya, kegiatan lainnya yang menyangkut keberadaan hewan tersebut. Sebagai contoh, kita mempelajari salah satu jenis hewan mulai dari habitatnya di alam, distribusi dan kelimpahannya, makanannya, prilakunya, dan lain-lain. Setelah semua dipahami dengan pengamatan dan penelitian yang cermat dan teliti, maka pengetahuan itu dapat kita manfaatkan misalnya dalam menjaga kelestariannya di alam dengan menjaga keutuhan lingkungan, habitat alaminya,memprediksi kelimpahan populasinya kelak, menganalisis perannya dalam ekosistem, membudidayakannya serta kegiatan lainnya dengan mengoptimalkan kondisi lingkungannya menyerupai habitat aslinya.
    Kesadaran dalam konservasi adalah suatu sikap yang sangat di harpakan dalam belajar ekologi hewan, karena  manusia  berinteraksi dengan alam tidak hanya bertujuan mekanistik dan  materialistik saja, melainkan juga mengikat  interaksi tersebut dengan nilai-nilai religius yang universal, nilai-nilai kearifan budaya,  etika, bahkan sampai kepada dosa dan pahala.   “Tri-Stimulus Amar Pro-Konservasi” dapat memberikan suatu masukan bagi penyempurnaan teori sikap dan perilaku konservasi, khususnya sumbangan bagi determinasi
tentang kelompok stimulus untuk aksi konservasi sumberdaya keanekaragaman hayati yang harus menjadi satu kesatuan tindak yang utuh.
.  Pendorong utama sikap dan aksi konservasi dapat dikelompokkan  menjadi 3 kelompok besar, yaitu  stimulus alamiah,  stimulus manfaat  dan stimulus religius.  Ketiga kelompok stimulus ini tidak dapat dipisah dan harus telah mengkristal menjadi satu kesatuan sebagai stimulus kuat (evoking  stimulus)  penggerak, pendorong dan pembentuk sikap-perilaku untuk aksi konservasi.  Hal ini  sebagai  prasyarat terwujudnya  konservasi di dunia nyata atau di dunia grass root. (Amzu, 2006)
    Dalam konteks sistem nilai ke tiga kelompok stimulus  ini tidak lain adalah kristalisasi dari nilai-nilai : “kebenaran”, “kepentingan” dan “kebaikan”.  Kristalisasi atau  resultant  atau kombinasi dari nilai-nilai inilah yang dapat menjadi penggerak, penyeimbang dan pengendali terwujudnya sikap dan perilaku untuk aksi konservasi yang berkelanjutan di kehidupan nyata.   Sejarah  yang panjang  telah membuktikan, bahwa konservasi  itu baru dapat terwujud dikehidupan nyata, apabila pada setiap diri individu manusia memiliki keikhlasan  dan  kerelaan berkorban  untuk  kebaikan  orang lain dan untuk konservasi alam.  (Amzu,2006)

Sumber:
Amzu, Ervizal. dkk. 2006. Sikap masyarakat dan konservasi:  suatu analisis kedawung (parkia timoriana (dc) merr.) Sebagai stimulus tumbuhan obat bagi masyarakat, kasus di taman nasional meru betiri . Jurnal Medi Konservasi IPB: BOGOR  


Jawaban No.5
    Hewan yang dapat dijadikan indikator kontroling  terhadap kondisi lingkungan salah satunya adalah serangga. Serangga merupakan hewan yang paling banyak dimanfaatkan karena mudah ditemukan. Dengan mengenal serangga terutama biologi dan perilakunya maka diharapkan akan efisien manusia mengendalikan kehidupan serangga yang merugikan ini. Keanekaragaman yang tinggi dalam sifat-sifat morfologi, fisiologi dan perilaku adaptasi dalam lingkungannya, dan demikian banyaknya jenis serangga yang terdapat di muka bumi, menyebabkan banyak kajian ilmu pengetahuan, baik yang murni maupun terapan, menggunakan serangga sebagai model. Kajian dinamika populasi misalnya, bertumpu pada perkembangan populasi serangga. Demikian pula, pola, kajian ekologi, ekosistem dan habitat mengambil serangga sebagai model untuk mengembangkannya ke spesies-spesies lain dan dalam skala yang lebih besar.
    Manfaat serangga antara lain sebagai penyerbuk (pollinator) andal untuk semua jenis tanaman. Di bidang pertanian serangga berperan membantu meningkatkan produksi buah-buahan dan biji-bijian. Produksi buah-buahan dan biji-bijian meningkat sebesar 40 % berkat bantuan serangga dengan kualitas yang sangat bagus. Di Eropa dan Australia berkembang jasa penyewaan koloni serangga untuk penyerbukan yang melepas kawanan lebah menjelang tanaman berbuah. Serangga juga berperan sebagai organisme perombak (dekomposer) yang mendegradasi kayu yang tumbang, ranting, daun yang jatuh, hewan yang mati dan sisa kotoran hewan. Jenis-jenis seperti rayap, semut, kumbang, kecoa hutan dan lalat akan merombak bahan organik menjadi bahan anorganik yang berfungsi untuk regenerasi dan penyubur tanaman. Serangga juga berperan sebagai pengendali fitofagus (serangga hama bagi tanaman), sehingga tercipta keseimbangan alam yang permanen di dalam ekosistem hutan. Jika proses dalam rantai makanan itu terjaga maka dinamika ekosistem hutanpun akan stabil.
    Dari segi pengelolaan hutan, peranan serangga perlu diarahkan kepada pendugaan seberapa jauh serangga tertentu atau dalam hubungan simbiose yang seperti apakah sehingga serangga mempunyai peran sebagai spesies indikator, untuk memprediksi tingkat kepunahan spesies lain atau perubahan mikro lingkungan, habitat maupun ekosistem tertentu. Penggunaan bioindikator akhir-akhir ini dirasakan semakin penting dengan tujuan utama untuk menggambarkan adanya keterkaitan antara faktor biotik dan abiotik lingkungan. Bioindikator (Indikator biologi) adalah jenis atau populasi tumbuhan, hewan dan mikroorganisme yang kehadiran, vitalitas dan responnya akan berubah karena pengaruh kondisi lingkungan. Setiap jenis akan memberikan respon terhadap perubahan lingkungan tergantung dari stimulasi (rangsangan) yang diterimanya. Respon yang diberikan mengindikasikan perubahan dan tingkat pencemaran yang terjadi di lingkungan tersebut dimana respon yang diberikan dapat bersifat sangat sensitif, sensitif atau resisten (Speight et.al., 1999).
    McGeoch (1998) .dalam Shahabuddin, 2003 menyatakan bioindikator atau indikator ekologis adalah taksa atau kelompok organsime yang sensitif atau dapat memperlihatkan gejala dengan cepat terhadap tekanan lingkungan akibat aktifitas manusia atau akibat kerusakan sistem biotik. Pearson (1994) membagi indikator biologi atas tiga yakni :
1.    Jenis indikator, dimana kehadiran atau ketidakhadirannya mengindikasikan terjadinya perubahan di lingkungan tersebut. Jenis yang mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan lingkungan (Stanoecious) sangat tepat digolongkan sebagai jenis indikator. Apabila kehadiran, distribusi serta kelimpahannya tinggi maka jenis tersebut merupakan indikator positif, sebaliknya ketidakhadiran atau hilangnya jenis tersebut merupakan indikator negatif
2.    Jenis monitoring, mengindikasikan adanya polutan di lingkungan baik kuantitas maupun kualitasnya. Jenis Monitoring bersifat sensitif dan rentan terhadap berbagai polutan, sehingga sangat cocok untuk menunjukan kondisi yang akut dan kronis.
3.    Jenis uji, adalah jenis yang dipakai untuk mengetahui pengaruh polutan tertentu di alam.
    Penggunaan serangga sebagai indikator kondisi lingkungan atau ekosistem yang ditempatinya telah lama dilakukan. Jenis serangga mulai banyak diteliti karena bermanfaat untuk mengetahui kondisi kesehatan suatu ekosistem. Serangga akuatik selama ini paling banyak digunakan untuk mengetahui kondisi pencemaran air pada suatu daerah, diantaranya adalah beberapa spesies serangga dari ordo Ephemeroptera, Odonata, Diptera, Trichoptera , Plecoptera, Coleoptera, family Scarabidae, Cicindeliadae, Carabidae(Spellerberg,1995).
    Adapun untuk serangga daratan (‘terrestrial insect’) studi sejenis telah banyak dilakukan pada berbagai kawasan hutan di berbagai negera termasuk di kawasan hutan tropis. Mengingat banyaknya jenis serangga yang ada dibumi ini, maka studi terhadap serangga bioindikator kondisi hutan lebih banyak difokuskan pada kelompok serangga tertentu. Diantara taksa yang banyak digunakan sebagai biodindikator tersebut adalah famili Scarabidae, Cicindeliadae dan Carabidae dari ordo Coleoptera, beberapa spesies dari Ordo Hymenoptera dan Lepidoptera, serta serangga dari kelompok rayap atau Isoptera (Jones and Eggleton, 2000 dalam Shahabudin, 2003).
    Alfaro dan Singh (1997) melaporkan bahwa kelimpahan invertebrata (yang didominasi oleh serangga) pada kanopi hutan umumnya lebih tinggi pada hutan-hutan yang belum rusak yang menunjukkan bahwa mereka merupakan bioindikator yang ideal terhadap kesehatan hutan. Hilszczanski (1997) menggunakan keanekaragaman kumbang (Coleoptera) dari kelompok trofik yang berbeda sebagai indikator atas efek jangka panjang aplikasi insektisida pada ekosistem hutan. (Culotta 1996, dalam Alfaro & Singh, 1997) melaporkan bahwa biodiversitas yang tinggi menyebabkan ekosistem lebih resisten terhadap serangan penyakit dan penyebab kerusakan hutan lainnya yang menurunkan produktivtas primer ekosistem. Sebaliknya, kehilangan biodiversitas menyebabkan tidak stabilnya ekosistem hutan.
    Peran serangga sebagai bioindikator ekosistem hutan telah didemonstrasikan dengan baik oleh Klein (1989) yang menguji peran kumbang bubuk dari ordo Coleopterafamili Scarabidae terhadap dekomposisi kotoran hewan pada habitat yang berbeda yakni hutan alami, hutan terfragmentasi dan padang rumput (bekas hutan tebangan) di Amazon bagian Tengah (Central Amazon ). Laju penguraian kotoran hewan menurun sekitar 60 % di hutan alam dibandingkan padang rumput. Meskipun kelimpahan kumbang bubuk pada ketiga habitat tersebut tidak berbeda nyata namun terjadi penurunan sekitar 80 % jumlah jenis kumbang bubuk di padang rumput. Hal ini menegaskan bahwa setiap jenis kumbang bubuk memiliki peran yang cukup penting dibandingkan jenis lainnya sehingga semakin tinggi biodiversitas kumbang bubuk dan serangga lainnya menunjukan kestabilan ekosistem hutan yang semakin mantap.
    Kumbang bubuk banyak digunakan dalam studi bioindikator terhadap tingkat kerusakan hutan karena mereka memiliki peran ekologis yang penting dalam ekosistem hutan tropis. Kumbang ini bersama dengan serangga lainnya merupakan organisme dekomposer yang sangat penting, sehingga menentukan ketersediaan unsur hara bagi vegetasi hutan. Mereka juga terlibat dalam penyebaran biji-biji tumbuhan dan pengendalian parasit vertebrata (dengan menghilangkan sumber infeksi). Distribusi lokal dari kumbang bubuk sangat dipengaruhi oleh tingkat naungan vegetasi dan tipe tanah. Selain itu struktur fisik habitat menjadi faktor penting yang mempengaruhi komposisi dan distribusi kumbang bubuk (Davis et al. 2001). Oleh karena itu kelompok serangga ini merupakan indikator yang berguna untuk menggambarkan perbedaan struktur (bentuk arsitek, abiotik) antara habitat. Jadi berbeda dengan serangga lainnya yang menggambarkan perbedaan floristik (Komposisi spesies,biotik) suatu habitat melalui spesialisasi herbivora (seperti pada ngengat dan kupu - kupu).
    Studi awal oleh Sahabuddin (2003) menunjukkan adanya pengaruh tata guna lahan terhadap keanekaragaman kumbang bubuk pada pinggiran hutan yang terletak di dataran tinggi (diatas 100 mdpl). Ditemukan adanya indikasi bahwa spesies kumbang bubuk tertentu dari genus Onthopagus relatif toleran terhadap adanya kerusakan habitat sehingga potensi diusulkan sebagai salah satu spesies indikator. Meskipun demikian hal masih perlu dikaji lebih jauh terutama dengan melakukan penelitian yang sejenis pada hutan hujan tropis di dataran rendah. Hal ini sesuai dengan Weaver (1995) bahwa untuk melihat sejauh mana potensi suatu organisme sebagai bioindikator diperlukan pengambilan sampel secara berulang pada kondisi lingkungan yang sama tetapi pada tempat dan musim yang berbeda. Kelimpahan invertebrata (yang didominasi oleh serangga) pada kanopi hutan umumnya lebih tinggi pada hutan-hutan yang belum rusak yang menunjukkan bahwa mereka merupakan bioindikator terhadap kesehatan hutan (Alfaro dan Singh, 1997).
Sumber:
http://ekologi-hutan.blogspot.com/2010/11/peranan-serangga-sebagai-spesies.html

Jawaban No.6
pengetahuan relung sangat penting dalam malakukan konservasi pada hewan, antaralin mengetahui fungsional hewan itu dalam habitat yang ditempatinya sehubungan dengan adaptasi-adaptasi fisiologi, structural dan pola prilakunya. (relung) ekologi mencakup ruang fisik yang diduduki organisme , dapat mengetahui peranan fungsionalnya di dalam masyarakatnya (misal: posisi trofik) serta posisinya dalam kondisi lingkungan tempat tinggalnya dan keadaan lain dari keberadaannya itu.  aspek relung  dapat dikatakan sebagai relung atau ruangan habitat, relung trofik dan relung multidimensi atau hypervolume. Oleh karena itu relung ekologi sesuatu organisme tidak hanya tergantung pada dimana dia hidup tetapi juga apa yang dia perbuat (bagaimana dia merubah energi, bersikap atau berkelakuan, tanggap terhadap dan mengubah lingkungan fisik serta abiotiknya), dan bagaimana jenis lain menjadi kendala baginya..
    Burung kakatua adalah binatang yang luarbiasa setia,bulu mereka sangat lembut dan mereka indah. Yang terpenting relung mereka sangat pintar dan burung ini selalu ingin tau tentang sekitar lingkunganya. Burung kakatua senang pamer diri dan membuat tingkah lucu dengan membentangkan sayapnya, kepalanya naik turun ,menari dan berteriak.
    Burung ini memojok dan berkelakuan sangat berbeda dibanding burung parrot lainnya. Mereka lebih banyak mempunyai warna bulu burung yang sewarna, seperti putih atau hitam dan mereka mempunyai kepala yang tegak lurus, kemampuan bergerak mengikuti sesuatu. Paruhnya sangat besar dan kuat dan mereka dengan mudahnya menghancurkan objek.
    Kakatua di duga burung yang hidup paling lama dari jenis parrot lainnya seperti contoh jenis greater sulphur-crested mempunyai hidup hamper 100th. Sangat susah untuk menjelaskan umur dari kakatua, bagaimanapun kakatua yang muda mempunyai paruh lebih lembut dan pucat warnanya dan bulu burung yg lebih pucat, sementara burung yang tua mempunyai paruh yang lebih gelap dan punya striations dan bulu burung sudah penuh dengan warna
    Dari beberapa spesies kelopak matanya yg betina akan berwarna merah ke coklat setelah 2 tahun. Ini membantu untuk menentuka jenis kelamin dari burung tersebut. Warna mata tidak nyata dalam beberapa spesies. Dalam kasus ini jenis untuk mengetahui jenis kelamin harus dengan penyelidikan ilmu kedokteran. endoscopy, dapat dilaksanakan dengan bantuan dokter hewan atau dari test dna nya, biasanya sample darah atau beberapa helai bulu burung dikirim untuk diperiksan dalam laboratorium
    Burung kakatua mempunyai tempat tinggal alam yg dapat ditemui sebagian besar Australia dan Indonesia. Mereka ditemukan dalam 3 wilayah yang berbeda, hutan tadah hujan yg basah dan mempunyai temperature udara yang tinggi, tanah dataran rendah berumput dan pdang rumput yg luas dan kering
    Ada 18 spesies dari burung kakatua (termasuk dalam burung nuri) dan 37 sub spesies, haya sedikit yag orang tahu untuk keperluan import. Kakatua adalah binatang yg langka dan dilindungi. Larangan keras untuk mengekspor seluruh burung dari Australia, jadi burung yg masih muda tersedia untuk dijual umum di amerika adalah hasil ternakan.
    Perawatan untuk kakatua musti termasuk mandi pancuran /berendam seminggu sekali untuk mengumpulkan debu pada sayap dan agar bulu burung punya bentuk yang bagus. Pancuran dapat lebih bagus bila dibantu dengan tangan yang menahan semprotan air atau selang yang diberikan spray head yang bagus dan air yg hangat kuku. Mangkuk untuk berendam /wadah keramik berukuran 12-14inc atau (30-35cm) dapat ditempatkan pada bawah kandang atau tinggi /jarak dari lantai 39inc atau 1 meter apabila punya kandang burung yang besar. Sayapnya harus dijaga tetap seimbang jika kamu ingin burung tersebut tidak kehilangan semangat untuk terbang dan mencegah untuk kehilangan peliharanmu kabur melaui jendela/pintu. Paruh dan cakar butuh di tumpulkan agar mereka tidak merusak ketika memanjat dan mengigit. Bny macam tipe perches yg tersedia untuk tetap menjaga kuku tumpul, tapi mereka tetap butuh di tumpulkan apabila telah tumbuh.
    Kakatua akan menghancurkan mineral block ,lava blocks dan yg dapat dihancurkan dengan paruhnya dengan cepat dan mereka tidak mau membuat paruhnya tumpul.Di habitat aslinya burung Kakatua Putih(Cacatua alba) memakan buah.buahan, biji.bijian. sayuran. serangga dan larvanya.
    Burung Kakatua Putih (Cacatua alba) hidup berpasangan atau berkelompok dalam jumlah kecil. Sangat mencolok ketika terbang dengan kepakan sayap yang cepat dan kuat. diselingi gerakan melayang serta saling berteriak. Burung ini mempunyai kebiasaan berpegang pada dahan atau cabang pohon. Pada musim kawin burung jantan akan memperlihatkan pada burung betina beberapa gaya seperti meloncat. mengembangkan sayap. mengangkat ekor. dan berjalan di depan betina untuk menarik perhatiannya
    Jenis Burung betina bertelur jumlahnya di atas tiga butir. kemudian diletakkan dilubang pohon tempat burung tersebut bersarang. Telur tersebut dierami secara bergantian.antara burung jantan dan burung betina.
Sumber:
http://m-sanusi.blogspot.com/
http://biologisimple.blogspot.com/2012/12/habitat-dan-relung.html




          

Rabu, 17 April 2013

BIO EKOLOGI TUNGAU


Tungau  Tetranychus kanzawai

Karakter Morfologi

Siklus hidup T. kanzawai  terdiri dari telur, larva, nimfa (protonimfa dan  deutonimfa) dan dewasa.  Telur umumnya diletakkan pada permukaan bawah  daun tapi terkadang juga pada permukaan atas daun bila populasi  T. kanzawai  berlimpah.  Telur berbentuk bulat seperti bola dan saat baru diletakkan  berwarna putih bening.  Larva dan nimfa berwarna hijau kekuningan dengan bintik gelap pada bagian dorsolateral idiosoma seperti pada gambar 1 (Ehara 2002).  Tungau  dewasa umumnya berwarna merah atau merah kekuningan (Ehara 2002).  Warna tubuh imago T. kanzawai terkadang dipengaruhi oleh tanaman inangnya.  Tungkai berwarna kekuningan.  Betina dewasa berukuran sekitar 400-500 µm dan jantan dewasa lebih kecil dengan hysterosoma yang meruncing.  Imago  T. kanzawai jantan memiliki knob yang besar pada aedeagus (Zhang 2003).

Bioekologi  tungau

  T. kanzawai pertama kali ditemukan pada tanaman murbei di Jepang  (Kishida 1927).  Walter & Proctor (1999) menyatakan bahwa sebelum perang dunia II, tungau ini merupakan hama sekunder.  Penggunaan pestisida kimiawi secara intensif menyebabkan perubahan status pada spesies ini. Spesies tungau ini bersifat kosmopolit dan dapat dijumpai hampir di seluruh belahan dunia.  T. kanzawai merupakan spesies tungau hama yang cukup terkenal di Asia.  Tungau ini mudah dijumpai pada pertanaman teh sehingga dikenal juga sebagai tungau merah teh.  Selain itu, T. kanzawai dapat menyerang lebih dari 100 spesies tanaman.  Pada umumnya tungau ini mudah dijumpai di lapangan, namun juga menjadi hama pada pertanaman dalam rumah kaca seperti anggur, stroberi, dan lain-lain. 

 Gejala kerusakan yang diakibatkan oleh tungau hama ini bervariasi tergantung jenis tanamannya.  Nekrotik merupakan gejala yang pasti terjadi pada daun yang terserang tungau hama ini, kemudian daun tersebut mengering. Populasi tungau yang sangat tinggi dapat menyebabkan kematian tanaman. Populasi T. kanzawai dapat meningkat dalam waktu yang cepat.  Hal ini berkaitan dengan waktu perkembangan T. kanzawai  yang singkat, yaitu berkisar 12-19 hari pada suhu 20-25°C (Zhang 2003).  Keberhasilan hidup sampai tahap imago dapat mencapai 80 %.  Nisbah kelamin bersifat female biased dengan nilai 1:3.  Imago betina memiliki lama hidup yang lebih panjang dibandingkan imago jantan.  Tingkat fekunditas bervariasi dan dipengaruhi oleh suhu.  Satu imago betina dapat bertelur sebanyak 28-76 butir pada kisaran suhu 15-30°C (Zhang 2003).

Tungau Predator Famili Phytoseiidae

 Kelompok tungau predator yang banyak digunakan sebagai agens pengendali hama tanaman berasal dari famili Phytoseiidae.  Selain memakan tungau fitofag, tungau predator famili Phytoseiidae juga memakan serangga kecil yang berada di tanaman.  Beberapa spesies juga memakan nematoda, spora cendawan, polen, dan eksudat tanaman.    Famili Phytoseiidae memiliki tiga subfamili yaitu Amblyseiinae, Phytoseiinae, dan Typhlodrominae.  Spesies tungau yang telah dikembangkan secara komersial adalah genera Neoseiulus dan Phytoseiulus yang termasuk dalam subfamili Amblyseiinae dan Phytoseiinae (Zhang 2003). 

 Siklus hidup tungau predator terdiri dari telur, larva, protonimfa, deutonimfa, dan imago.  Telur memiliki bentuk oval memanjang dan berwarna bening.  Kelembapan yang tinggi yaitu berkisar 90-100%, dibutuhkan untuk penetasan telur.  Perilaku makan larva berbeda untuk beberapa spesies.  Beberapa spesies tungau predator memiliki stadium larva yang tidak makan, sementara larva beberapa spesies membutuhkan makanan untuk perkembangannya.  Pada umumnya perkembangan tungau predator lebih cepat dibandingkan dengan tungau  Tetranychus  sp.  Sebagian besar tungau predator membutuhkan waktu sekitar satu minggu untuk perkembangannya.  Beberapa spesies  Phytoseiulus bahkan dapat menyelesaikan siklus hidupnya dalam waktu 4 hari.    Famili Phytoseiidae bersifat pseudo-arrhenotokous, yaitu menghasilkan keturunan jantan haploid dari telur yang dibuahi yang akan kehilangan genom induk pada awal perkembangan (Walter & Proctor 1999).  Oleh karena itu, kopulasi sangat penting dalam reproduksi.  Nisbah kelamin jantan:betina adalah 1:3 (Zhang 2003).  Watson (2008) menjelaskan bahwa secara morfologi perbedaan antara tungau betina dan jantan terletak pada bagian lapisan pelindung ventral.  Tungau jantan hanya memiliki satu lapisan ventral sedangkan tungau betina memiliki tiga lapis pelindung, yaitu sternal, genital dan  anal.    Seta merupakan salah satu unsur dalam klasifikasi tungau.  Beberapa peneliti memiliki penamaan letak seta pada idiosoma dorsal tungau.  Pada gambar 2, Zhang (2003) mendeskripsikan ciri khas pada famili Phytoseiidae yaitu idiosoma bagian dorsal memiliki tidak lebih dari 24 pasang seta dan pada bagian J1, J3, serta J4 tidak terdapat seta.     Salah satu ciri khas tungau predator adalah pergerakannya yang cepat.  Hal tersebut disebabkan oleh tungkai tungau predator yang relatif panjang.  Olfaktori sangat berguna dalam pencarian mangsa sehingga tungau predator dapat mengetahui tanaman yang terinfestasi oleh tungau fitofag  (Boom  et al.  2002; Zhang 2003, Nachappa 2008 ).

Tungau Predator Neoseiulus longispinosus

Karakter Morfologi

N. longispinosus termasuk dalam famili Phytoseiidae, ordo Mesostigmata.  Gerson  et al. (2003) menyatakan bahwa  N. longispinosus  sangat berhubungan dekat dengan N. womersleyi secara biosistematika.  Penampakan morfologi secara kasat mata hampir sama untuk kedua predator ini.  Bentuk tungau betina  N. longispinosus  lebih besar dibandingkan tungau betina N. womersleyi  (Gerson  et al. 2003).  Zhang (2003) menambahkan bahwa N. longispinosus memiliki tekstur seta lebih halus dan panjang pada seta S5.   Siklus hidup  N. longispinosus terdiri dari telur, larva, protonimfa, deutonimfa dan dewasa.  Telur berbentuk oval dan transparan serta berwarna putih bening.  Perubahan warna telur menjadi putih agak keruh terjadi saat menjelang penetasan.  Telur diletakkan secara individu pada permukaan bawah daun.  Stadia telur berlangsung selama 1-2 hari (Puspitarini 2005; Yulianah 2008).    Larva  N. longispinosus berwarna putih dengan 3 pasang tungkai.  Pada stadia larva, predator tidak mengkonsumsi mangsa.  Mobilitas larva terbilang pasif karena cenderung lebih banyak diam.  Masa stadia larva pada umumnya relatif singkat dan biasanya hanya dalam hitungan jam.

 Stadia nimfa terdiri dari protonimfa dan deutonimfa.  Pada stadia ini, predator lebih aktif dalam mobilitas dan memangsa.  Nimfa berwarna putih agak keruh dan memiliki 4 pasang tungkai.  Setelah memangsa, warna nimfa berubah menjadi putih kekuningan atau kemerahan pada bagian dorsal.  Lama stadia nimfa biasanya berlangsung selama satu hari. Tungau dewasa memiliki banyak seta pada bagian dorsal.  Lapisan dorsal memiliki 17 pasang seta.  Gambar 3 menunjukkan bahwa seluruh seta pada bagian dorsal berukuran panjang dan berduri kecuali seta pada J1 dan S5 (Zhang 2003).  Tungau dewasa memiliki warna yang sama seperti pada stadia nimfa.  Tungau betina dewasa memiliki ukuran rata-rata sekitar 350 µm.  Ukuran tungau dewasa jantan lebih kecil dibandingkan tungau dewasa betina.  Perbedaan tungau jantan dan betina terletak pada bagian genitalia.  Tungau jantan memiliki kaliks spermateka berbentuk seperti botol.  Lama hidup tungau jantan lebih pendek dibandingkan tungau betina

Kopulasi terjadi ketika tungau betina menjadi dewasa.  Tungau dewasa jantan akan menunggu deutonimfa betina.  Saat penantian tersebut, tungau jantan akan menjaga area di sekeliling deutonimfa berada.  Vantornhout (2006) menyatakan bahwa detonimfa memiliki feromon seks yang dapat menarik tungau jantan.  Apabila tungau jantan lain memasuki area tersebut maka akan terjadi pertarungan.  Perilaku kawin tungau jantan N. longispinosus cukup unik (Gambar 4).  N. longispinosus memiliki pola kawin tipe Phytoseiulus.  Tipe Phytoseiulus memiliki karakter saling berhadapan lalu tungau jantan akan merayap secara perlahan di bawah tungau betina.

Bioekologi

Neoseiulus longispinosus dilaporkan berada di Indonesia pertama kali dengan nama  Typhlodromus longispinosus  (Evans 1952).  Kongchuesin  et al. (2005) menyatakan bahwa populasi  N. longispinosus  akan melimpah pada tanaman yang terinfestasi tungau merah dengan produksi jaring yang banyak pada permukaan bawah daun.   Predator ini banyak dijumpai pada tanaman ubi kayu yang terinfestasi tungau Tetranychidae terutama  T. kanzawai  di Indonesia (Santoso, komunikasi pribadi).  Selain itu, predator ini juga ditemui pada tanaman stroberi dan jeruk di lapangan (Puspitarini 2005; Yulianah 2008).   N. longispinosus ditemukan pada 33 spesies tanaman di Thailand (Kongchuesin et al. 2005).

N. longispinosus banyak ditemui di beberapa negara seperti di India, Cina bagian timur, Philiphina, Indonesia, Thailand, Malaysia, Taiwan, Hawaii, Pakistan, Papua Nugini, Australia dan New Zealand (Gerson  et al. 2003; Kongchuensin et al.  2005; Raza 2008).        Masa siklus hidup N. longispinosus  dipengaruhi oleh kondisi lingkungan terutama suhu.  Zhang (2003) melaporkan bahwa perkembangan N. longispinosus berlangsung selama 5 hari pada suhu 28 °C.  Penelitian Puspitarini (2005) dan Yulianah (2008) menunjukkan hasil yang sama bahwa siklus hidup  N. longispinosus  berlangsung selama 4-5 hari dalam kondisi laboratorium.  Hal ini memperlihatkan bahwa siklus hidup  N. longispinosus lebih cepat dibandingkan siklus hidup tungau Tetranychidae.

Preferensi Mangsa

 Makanan merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi suatu makhluk hidup dalam kehidupan seperti bertahan dan berkembang.  Kualitas dan kuantitas makanan adalah aspek penting untuk diperhatikan dalam pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup.  Kualitas makanan akan berkaitan langsung dengan fisiologi makhluk hidup.  Keberadaan jumlah makanan akan mempengaruhi kelimpahan populasi suatu makhluk hidup.  Mangsa merupakan sumber daya nutrisi penting bagi predator.  Mangsa yang berbeda dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan predator.  Oleh karena itu, tungau predator memiliki preferensi mangsa.  Berdasarkan preferensi mangsa, tungau predator dapat digolongkan dalam 4 tipe (Zhang 2003), yaitu: 1) predator spesialis, hanya memakan spesies Tetranychus yang menghasilkan sarang yang besar contoh spesies dari genera Phytoseiulus; 2) tungau Phytoseiidae yang memiliki preferensi makan tungau Tetranychinae, terkadang tungau kecil, dan polen contoh spesies  Neoseiulus californicus (McGregor); 3) predator generalis yang memakan berbagai jenis tungau, polen, dan serangga tapi tidak dapat mengendalikan spesies Tetranychus yang menghasilkan sarang yang besar contoh  Iphiseius degenerans Berlese; dan 4) predator generalis tungau dan serangga tapi bersifat spesialis terhadap polen contoh spesies dari genera Euseius.  N. longispinosus  termasuk predator tipe 2, yang memiliki preferensi mangsa pada tungau Tetranychidae dan juga dapat memakan polen (Gerson et al. 2003; Zhang 2003).

Sumber:  Gultom.dkk.2010.  Biologi dan kelimpahan populasi tungau merah Tetranychus kanzawai (Acari: Tetranychidae) pada dua kultivar jarak pagar (Jatropha curcas). Tesis IPB: Bogor

Siklus Hidup Tungau Laba-laba Pada Stroberi

Tungau laba-laba di dalam hidupnya mengalami metamorfosis yang disebut epimorfosis. Epimorfosis terdiri atas beberapa stadia, yaitu telur, larva, protonimfa, deutonimfa, dan imago. Setiap stadia bervariasi dalam kerentanan terhadap tekanan lingkungan, dan beberapa spesies mempertahankan diri dengan mengembangkan suatu stadia khusus, yaitu stadia diapause yang tahan terhadap lingkungan yang tidak sesuai untuk perkembangannya. Perkembangan tungau laba-laba relatif cepat dengan siklus hidup yang relatif singkat tetapi keperidiannya tidak tinggi untuk golongan artropoda. Berikut ini adalah gambar siklus hidup tungau laba-laba yang merupakan salah satu hama pada tanaman stroberi.
siklus hidup tungau laba-laba pada stroberi
Siklus hidup tungau laba-laba pada stroberi
Stadia Telur dan Larva
Stadia telur berlangsung selama 3 – 4 hari. Mortalitas telur biasanya menurun bila terjadi pembuahan. Telur yang dibuahi mempunyai peluang menetas yang lebih baik daripada telur yang tidak dibuahi. Stadia larva merupakan stadia yang paling singkat pada perkembangan tungau laba-laba, yaitu hanya membutuhkan waktu 1 hari.
Stadia Nimfa (Protonimfa dan Deutonimfa)
Stadia nimfa berlangsung selama 4 hari. Stadia ini terbagi dua, yaitu stadia protonimfa dan deutonimfa. Deutonimfa calon betina melekat pada permukaan daun, berdiam diri, dan kemudian memasuki masa istirahat terakhirnya, yaitu teliokrisalis.
Stadia Imago
Tungau laba-laba jantan menjadi dewasa mendahului tungau betina dan berada di dekat tungau betina yang sedang berada dalam stadia teliokrisalis. Jantan diduga dipandu oleh benang sutera dan pemikat kelamin (sex attractant) yang dilepaskan calon betina sehingga dapat menemukan teliokrisalis betina. Calon betina ini semakin lama semakin menarik jantan. Semakin mendekati waktu ganti kulit semakin banyak jantan yang mendekat. Perilaku jantan yang mendampingi stadia teliokrisalis betina tetranychid sebagai pendampingan prakopulasi (precopulatory guarding). Perilaku demikian menunjang pembuahan karena hanya kopulasi pertama yang efektif bagi betina tetranychid. Kopulasi terjadi segera setelah betina muda muncul. Hal ini dapat menerangkan mengapa pada suatu populasi biseksual yang normal, semua betina hampir selalu kopulasi.
Oviposisi pada Tetranychidae didahului oleh masa praoviposisi yang singkat. Oviposisi ini mencapai puncaknya secara cepat dan diikuti dengan penurunan oviposisi secara perlahan. Seekor tungau betina mampu meletakkan telur sebanyak 10 butir per hari. Imago betina dapat hidup sampai 24 hari dengan jumlah telur 200 butir. Banyaknya generasi dalam satu musim menyebabkan kerusakan yang ditimbulkan juga besar.
Tipe penetapan jenis kelamin tungau laba-laba adalah tipe arenotoki. Keturunan yang jantan berkembang dari telur-telur yang tidak dibuahi dan yang betina dari telur-telur yang dibuahi. Imago betina yang kopulasi akan menghasilkan keturunan jantan dan betina karena tidak semua telur dapat dibuahi. Oleh karena itu, jenis kelamin dari keturunan yang dihasilkan ditentukan oleh pembuahan dari telur. Tidak ada perbedaan yang nyata dalam hal perilaku makan dan bertelur antara imago betina yang kopulasi dan yang tidak kopulasi, namun ada kecenderungan pada imago betina yang kopulasi akan menyebar koloninya. Nisbah kelamin yang ’normal’ dari tetranychid tidak diketahui, namun jumlah betina umumnya lebih banyak daripada jumlah jantan.
Selain mengalami perkembangan yang aktif, tungau laba-laba juga memiliki stadia diam atau inaktif (krisalis). Stadia inaktif ini terjadi sebanyak tiga kali yang menandakan akan adanya pergantian kulit, yaitu protokrisalis (antara stadia larva dan protonimfa), deutokrisalis (antara stadia protonimfa dan deutonimfa), dan teliokrisalis (antara stadia deutonimfa dan imago). Selama periode tidak aktif ini tungau akan mengaitkan dirinya pada substrat dan sebuah kulit baru terbentuk sebelum terjadi pelepasan eksuvium. Integumen robek di bagian dorsal kemudian tungau akan membebaskan diri dari eksuvium. Kulit lama tetap melekat pada substrat.
Tungau laba-laba pada masa inaktif sangat mudah diserang oleh predator. Meskipun begitu, tungau menghabiskan hampir setengah dari siklus hidupnya antara menetasnya telur dan munculnya imago sebagai stadia inaktif. Lamanya stadia inaktif ternyata memiliki kepentingan ekologi yang melebihi dari risiko pemangsaan oleh predator, yaitu suatu mekanisme pertahanan terhadap hujan yang tidak dapat diprediksi. Hujan merupakan faktor kematian utama tungau. Hal ini telah dibuktikan pada penelitian pengaruh hujan buatan terhadap tingkat kematian stadia inaktif dan aktif bahwa mortalitas dewasa T. kanzawai lebih tinggi secara nyata dibandingkan deutonimfa inaktif.

BIOLOGI TUNGAU

TUNGAU termasuk hama pada berbagai tanaman yang belum banyak petani yang tahu cara pengendaliannya. Hal ini disebabkan karena tungau merupakan jenis binatang hama yang bukan serangga (ulat, belalang, wereng dll) sehingga dalam mengendalikan hama ini harus menggunakan pestisida yang benar-benar untuk tungau. Kenapa saya mengatakan tungau bukan serangga karena tungau memiliki kaki 8 buah, sedangkan serangga harus memiliki kaki 6 buah.


Tungau adalah sekelompok hewan kecil bertungkai delapan yang, bersama-sama dengan caplak, menjadi anggota superordo Acarina. Tungau bukanlah kutu dalam pengertian ilmu hewan walaupun sama-sama berukuran kecil (sehingga beberapa orang menganggap keduanya sama). Apabila kutu sejati merupakan anggota Insecta (serangga), tungau lebih berdekatan dengan laba-laba dilihat dari kekerabatannya.


Hewan ini merupakan salah satu avertebrata yang paling beraneka ragam dan sukses beradaptasi dengan berbagai keadaan lingkungan. Ukurannya kebanyakan sangat kecil sehingga kurang menarik perhatian hewan pemangsa besar dan mengakibatkan ia mudah menyebar.


Banyak di antara anggotanya yang hidup bebas di air atau daratan, namun ada anggotanya yang menjadi parasit pada hewan lain (mamalia maupun serangga) atau tumbuhan, bahkan ada yang memakan kapang. Beberapa tungau diketahui menjadi penyebar penyakit (vektor) dan pemicu alergi. Walaupun demikian, ada pula tungau yang hidup menumpang pada hewan lain namun saling menguntungkan. Di bidang pertanian, tungau menimbulkan banyak kerusakan pada kualitas buah jeruk (umpamanya tungau karat buah Phyllocoptura oleivera Ashmed dan tungau merah Panonychus citri McGregor), merusak daun ketela pohon dan juga daun beberapa tumbuhan Solanceae (cabai dan tomat). Tungau juga menyebabkan penyakit skabies, penyakit pada kulit yang mudah menular.


Ada lebih dari 45 ribu jenis tungau yang telah dipertelakan. Para ilmuwan berpendapat, itu baru sekitar 5% dari kenyataan total jenis yang ada. Hewan ini dipercaya telah ada sejak sekitar 400 juta tahun. Ilmu yang mempelajari perikehidupan tungau dan caplak dikenal sebagai akarologi.


Taksonomi tungau masih belum stabil karena banyaknya perubahan. Namun dapat dikatakan bahwa tungau mencakup semua anggota Acariformes, semua Parasitoformes kecuali Ixodida (caplak), dan beberapa familia dan genera yang belum pasti penempatannya

MANFAAT MEMELIHARA HEWAN

MANFAAT MEMELIHARA HEWAN

Pemilik hewan peliharaan ternyata punya kemampuan jantung yang lebih baik dalam menghadapi berbagai situasi serius. Ini artinya risiko mereka untuk meninggal karena penyakit jantung lebih kecil dibanding bukan pemilik hewan. Beberapa penelitian telah menegaskan manfaat menyehatkan dari memelihara binatang. Salah satunya menyebutkan mereka yang memelihara hewan memiliki angka survival lebih tinggi setahun pasca operasi gagal jantung. Berikut adalah tiga alasan mengapa bersahabat dengan hewan bisa menyehatkan. - Jika Anda pekerja yang stres Berinteraksi dengan hewan kesayangan merupakan cara yang efektif untuk menurunkan level stres. Tim peneliti dari University at Buffalo memberikan kucing atau anjing kepada para pialang saham yang seperti diketahui memiliki stres tinggi. Setelah 6 bulan ternyata tekanan darah dan detak jantung para pialang saham itu lebih stabil. - Jika Anda tak suka anjing atau kucing Anjing dan kucing adalah hewan peliharaan yang populer dan banyak menjadi subyek penelitian mengenai relasi antara majikan dengan peliharaannya. Padahal, efek menyehatkan juga didapatkan pada berbagai jenis hewan peliharaan, termasuk ular atau iguana. "Bukan cuma jenis hewannya, tapi efek menyehatkan itu didapat dari pertemanan dengan hewan-hewan itu yang berdampak positif bagi kita," kata Allen McConnel, profesor dari Miami University. - Jika Anda lajang Tidak punya pasangan? Jangan khawatir. Penelitian menunjukkan hewan kesayangan memberikan dukungan sosial yang bisa dibandingkan dengan yang kita dapatkan dari manusia lain. Berteman dengan mereka juga mengurangi hormon-hormon stres. Para pemilik hewan peliharaan juga punya tingkat aktivitas fisik lebih tinggi karena mereka punya rutinitas untuk mengajak "sahabatnya" berjalan-jalan. Aktivitas ini juga menjadi cara untuk berteman dengan para pemilik hewan lainnya.

Sample Text