Jumat, 19 April 2013

SOAL DAN JAWABAN UTS EKWAN


SOAL
1.    Konsep waktu-suhu yang berlaku pada hewan  poikilotermik sangat berguna aplikasinya dalam pengendalian hama pertanian, khususnya dari golongan serangga. Jelaskan arti konsep waktu secara singkat, dan berikan contoh ulasannya terkait dengan kasus ulat bulu yang menyerbu tanaman mangga di Probolinggo Tahun 2010.

2.    Jelaskan pemanfaatan konsep kelimpahan, intensitas dan prevalensi, disperse, fekunditas, dan kelulushidupan dalam kaitannya dengan penetapan hewan langka!

3.    Jelaskan aplikasi konsep interaksi populasi, khususnya parasitisme dan parasitoidisme, dalam pengendalian biologis. Berikan contohnya!

4.    Nilai sikap dan karakter apa yang harus ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan? Berikan contoh riilnya!

5.    Uraikan satu contoh pemanfaatan indikator hewan untuk monitoring kondisi lingkungan secara mendetail, mulai dari jenis, prinsip dan praktik pemanfaatannya!

6.    Apakah manfaat pengetahuan tentang relung bagi aktivitas konservasi? Berikan salah satu contoh hewan langka, lakukan kajian tentang relungnya. (dalam satu kelas, hewan yang dikaji tidak boleh sama)!


Jawaban No.1
    Hewan ektothermal (poikilterm) memerlukan kombinasi antara faktor waktu dan faktor suhu lingkungan. Hewan ektothermal (Poikiloterm) tidak dapat tumbuh dan berkembang bila suhu lingkungannya dibawah batas suhu minimum kendatipun  diberikan waktu yang cukup lama. Jadi suhu lingkungan menentukan suhu tubuh hewan poikiloterm. Bahkan suhu menajadi faktor pembatas bagi kehidupannya. 
Suhu tubuh pada hewan poikilotermik menentukan kerja enzim yang membantu metabolism di dalam tubuh.  Karena itu dari sudut pandang ekologi, kepentingan suhu lingkungan bagi hewan-hewan ektoterm tidak hanya berkaitan dengan aktivitasnya saja tetapi juga mengenai pengaruhnya terhadap laju perkembangannya.  Dalam suatu kisaran suhu tertentu, antara laju perkembangan dengan suhu lingkungan terdapat hubungan linier. Konsekuensinya ialah bahwa untuk hewan-hewan ektoterm lama waktu perkembangan akan berbeda-beda.  Dengan perkataan lain, pernyataan berapa lamanya waktu perkembangan selalu perlu disertai dengan pernyataan pada suhu berapa berlangsungnya proses perkembangan itu. Karena pada hewan ektoterm (Poikiloterm), waktu (berlangsungnya proses perkembangan) merupakan fungsi dari suhu lingkungan, maka kombinasi waktu-suhu yang seringkali dinamakan waktu fisiologis itu mempunyai arti penting.
    Konsep waktu-suhu penting untuk memahami hubungan antara waktu dengan keterjadian-keterjadian serta dinamika populasi hewan ektoterm (poikiloterm).  Sering timbul jenis serangga dalam jumlah besar yang terjadinya hampir tiap tahun pada waktu yang berbeda beda, merupakan suatu fenomena alam.  Kejadian tersebut bila ditelaah lebih lanjut akan terlihat bahwa terjadinya peledakan populasi itu berdasarkan pada jumlah hari derajat yang sama di atas suhu ambang perkembangan jenis serangga tersebut.
    Dengan menggunakan konsep-konsep waktu-suhu yang diwujudkan dalam bentuk jumlah hari-derajat, maka fenomena alam akibat proses perkembangan seperti peledakan populasi , dapat diramalkan kapan akan terjadinya.  Dalam bidang pertanian dan perkebunan, peramalan terjadinya peledakan suatu populasi, mempunayi nilai guna yang sangat penting. Sebab dengan diketahuinya jumlah hari-derajat perkembangan suatu jenis serangga hama, maka akan dapat ditentukan lebih tepat, kapan waktu dan teknik pemberantasan hama tersebut, karena memberantas telur atau pupa berbeda dengan memberantas hewan dewasanya.  
Sumber:
Prihatnawati, Yayuk. 2012. Aplikasi konsep waktu – suhu pada hewan poikiloterm dalam pengendalian hama pertanian. Makalah UM: Malang
    Suputa, dosen jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian UGM, memaparkan dugaan awal penyebab terjadinya serangan ulat bulu dikarenakan silica yang dihasilkan aktivitas gunung api, vegetasi hutan yang semakin langka, berkurangnya jumlah burung pemakan serangga,dan resistensi serta resurgensi hama terhadap zat kimia. Letusan Gunung Bromo menyebabkan ekosistem yang ada disekitarnya rusak berat. Pohon-pohon besar yang tumbuh di lereng Bromo sebagai  tempat berkembang biak ulat bulu dan para pemangsa alaminyamenjadi rusak. Akibatnya ulat bulu mencari tempat yang cocok untuk berkembang biak, termasuk pohon-pohon di pemukiman penduduk.Sementara itu, para pemangsa alami ulat mencari tempat berkembangbiak yang jauh dari pemukiman manusia..
    Ledakan jumlah organisme (ulat bulu) dapat dipicu oleh dua faktor, yakni keterkaitan ketersediaan nutrisi (food quality) bagi hamadan faktor lingkungan seperti faktor predator, parasit, dan suhu lingkungan.
    Ekosistem yang rusak menyebabkan ketersediaan makanan bagiulat bulu hilang, sehingga ulat bulu mencari tempat-tempat yang menyediakan pasokan makanan yang lebih banyak. Kerusakan ekosistem bisa karena bencana alam seperti banjir, letusan gunung berapi, tanah longsor, dan sebagainya. alam merupakan hal terparah yang tanpa disadari telah membuat ekosistem tempat berkembang biak ulat bulu dan predatornya rusak.
    Kepala KP4 UGM, Agus Cahyono (2011) menyampaikan, ”Faktor meningkatnya populasi ulat bulu disebabkan adanya perubahan iklim, rantai makanan yang rusak dengan banyak predator yang hilang seperti burung dan semut ngangrang akibat perburuan dan diperjualbelikan”.
    Perubahan iklim dan kerusakan rantai makanan merupakan masalah yang banyak disebutkan sebagai faktor penyebab wabah ulat bulu. Selain perubahan iklim, penggunaan pestisida berlebihan dalam membasmi hama juga menyebabkan musuh alami ulat bulu seperti serangga kecil tidak mampu bertahan hidup, sehingga tidak ada yang mengontrol populasi ulat bulu, akibatnya jumlah ulat bulu semakinbanyak dan berkembang biak dengan tidak terkendali. Seharusnya, musuh alami ulat bulu memberikan parasit pada telur ulat yang menyebabkan dari ribuan telur ulat hanya beberapa telur saja yang berhasil jadi ulat. Karena musuh alami ulat menghilang maka jumlah telur yang menetas semakin banyak
Sumber:
Fatoni, Mukhamad. 2011. Analisis Ilmiah Wabah Ulat Bulu Di Probolinggo. Makalah: Sumatara Selatan

Jawaban No. 2
    Tinggi rendahnya jumlah individu populasi suatu spesies hewan menunjukkan besar kecilnya ukuran populasi atau tingkat kelimpahan populasi itu. Area suatu populasi tidak dapat ditentukan batansnya secara pasti, sehingga kelimpahan (ukuran) populasi pun tidak mungkin dapat ditentukan. Hal demikian terutama berlaku bagi populasi alami hewan-hewan bertubuh kecil, terlebih yang nocturnal atau tempat hidupnya sulit dijangkau. Maka, digunakan pengukuran tingkat kelimpahan populasi per satuan ruang dari yang ditempati yaitu kerapatannya (kepadatannya). Kerapatan populasi suatu spesies hewan adalah rata-rata jumlah individu per satuan luas area (m2, Ha, km2) atau per satuan volume medium (cc, liter, air) atau per satuan berat medium (g, kg, tanah). Dalam hal-hal tertentu. kerapatan lebih memberikan makna bila dinyatakan per satuan habitat atau mirohabitat. Misalnya, sekian individu cacing usus per individu inang atau sekian individu werwng per rumpun padi.
Sehingga terdapat dua pengertian. Kerapatan (kasar) diukur atas satuan ruang habitat secara menyeluruh dan kerapatan ekologis (kerapatan spesifik) didasarkan atas satuan ruang dalam habitat yang benar-benar ditempatinya (microhabitat). Kerapatan spesifik lebih memberikan makna antar-hubungan ekologis. Seperti, dengan makin turunnya permukaan air danau, kerapatan populasi ikan dalam danau secara keseluruhan (kerapan kasar) menjadi berkurang, sedang kerapatan ekologisnya makin bertambah.
    Kelimpahan populasi suatu spesies mengandung dua aspek yang berbeda, yaitu aspek intensitas dan aspek prevalensi. Intensitas menunjukkan aspek tinggi rendahnya kerapatan populasi dalam area yang dihuni spesies. Prevalensi menunjukkan jumlah dan ukuran area-area yang ditempati spesies dalam konteks daerah yang lebih luas (masalah sebaran).
Suatu spesies hewan yang prevalensinya tinggi (=prevalen) dapat lebih sering dijumpai. Spesies yang prevalensinya rendah, yang daerah penyebarannya terbatas (terlokalisasi) hanya ditemui di tempat tertentu.Spesies hewan dapat dimasukkan dalam salah satu dari empat kategori berikut:
    prevalensi tinggi (=prevalen) dan intensitasnya tinggi
    prevalensi tinggi (=prevalen) tetapi intensitasnya rendah
    prevalensi rendah (=terlokalisasi) tetapi intensitasnya tinggi
    prevalensi rendah (=terlokalisasi) dan intensitasnya rendah.

    Contohnya Badak Jawa dan Jalak Bali bersifat endemic dan merupakan spesies langka yang terancam kepunahan. Kategorisasi status spesies dengan memperhitungkan dua aspek tersebut sangat penting terutama dalam menentukan urutan prioritas perhatian dan untuk melakukan upaya-upaya kelestarian spesies hewan langka yang terancam punah.
Spesies yang terlokalisasi dan intensitasnya rendah dikategorikan sebagai spesies langka. Adakalanya spesies yang intensitasnya tinggi namun prevalensinya rendah pun dimasukkan dalam kategori tersebut.

.
    Fekunditas secara umum berarti kemampuan untuk bereproduksi. Dalam biologi, fekunditas adalah laju reproduksi aktual suatu organisme atau populasi yang diukur berdasarkan jumlah gamet, biji, ataupun propagula aseksual. Dalam bidang demografi, fekunditas adalah kapasitas reproduksi potensial suatu individu ataupun populasi. Fekunditas berada di bawah kontrol genetik maupun lingkungan dan merupakan ukuran utama kebugaran biologi suatu spesies.
Pengetahuan mengenai fekunditas merupakan salah satu aspek yang memegang peranan penting dalam biologi perikanan. Fekunditas ikan telah dipelajari bukan saja merupakan salah satu aspek dari natural history, tetapi sebenarnya ada hubungannya dengan studi dinamika populasi, sifat-sifat rasial, produksi dan persoalan stok-rekruitmen (Bagenal, 1978).
Dari fekunditas secara tidak langsung kita dapat menaksir jumlah anak ikan yang akan dihasilkan dan akan menentukan pula jumlah ikan dalam kelas umur yang bersangkutan. Dalam hubungan ini tentu ada faktor-faktor lain yang memegang peranan penting dan sangat erat hubungannya dengan strategi reprodusi dalam rangka mempertahankan kehadiran spesies itu di alam.
Selain itu, fekunditas merupakan suatu subyek yang dapat menyesuaikan dengan bermacam-macam kondisi terutama dengan respons terhadap makanan. Jumlah telur yang dikeluarkan merupakan satu mata rantai penghubung antara satu generasi dengan generasi berikutnya, tetapi secara umum tidak ada hubungan yang jelas antara fekunditas dengan jumlah telur yang dihasilkan
Sumber:
http://nenkiuedubio.blogspot.com/2011/05/populasi-hewan.html



Jawaban No.3
Parasitoid contohnya terhadap  serangga yang meletakkan telurnya pada permukaan atau di dalam tubuh serangga lain yang menjadi inang atau mangsanya. Parasitoid sering juga disebut parasit. Kebanyakan serangga parasitoid hanya menyerang jenis hama secara spesifik. Salah satu contoh parasitoid ini adalah serangga yang dengan suku Eulophidae.
Serangga parasitoid dewasa menyalurkan suatu cairan atau bertelur pada suatu hama sebagai inangnya. Ketika telur parasitoid menetas, larva akan memakan inang dan membunuhnya. Setelah itu keluar meninggalkan inang untuk menjadi kepompong lalu menjadi serangga lagi.
Parasitoid sekelompok insect yang dikelompokkan dengan dasar perilaku bertelur betina dewasa dan pola perkembangan larva selanjutnya. Terutama untuk insect dari ordo Hymenoptera, dan juga meliputi banyak Diptera. Mereka hidup bebas pada waktu dewasa, tetapi betinanya bertelur di dalam, pada atau dekat insect lain. Larva parasitoid berkembang di dalam (atau jarang pada) individu inang yang masih tingkat pre-dewasa. Pada awalnya hanya sedikit kerusakan yang tampak ditimbulkan terhadap inangnya, tetapi akhirnya hampir dapat mengkonsumsi seluruh inangnya dan dengan demikian makan dapat membunuh inang tersebut sebelum atau sesudah stadium kepompong (pupa). Jadi parasitoid dewasa, bukan inang dewasa yang akan muncul dari kepompong. Sering hanya satu parasitoid yang berkembang dari tiap inang, tetapi pada beberapa kejadian beberapa individu hidup bersama dalam satu inang. Jelasnya parasitoid hidup bersama akrab dengan individu inang tunggal (seperti pada parasit)
Parasit, adalah hewan yang hidup pada hewan lain. Hidupnya sangat mempengaruhi inangnya karena semua zat makanan dari inang diserapnya untuk memenuhi kebutuhannya. Parasit berupa hewan kecil dan organisme kecil yanmg termasuk jamur dan bakteri pathogen.
Pengendalian biologi pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan OPT. Musuh alami ini meliputi predator, parasitoid dan patogen sebagai pengatur dan pengendali populasi OPT yang efektif karena sifat pengaturannya yang tergantung kepadatan. Artinya peningkatan populasi OPT akan diikuti oleh peningkatan predator hal ini terlihat dari meningkatnya daya makan per predator. Peningkatan populasi OPT akan diimbangi oleh tekanan yang lebih keras dari populasi musuh alami (Untung, 2003 : 169).
Martono (2005 : 1) dan Untung (2003 : 183) menyatakan dalam praktek pengendalian yang dilakukan sampai saat ini dapat dikelompokkan 3 kategori :
Pelepasan musuh alami secara teknik augmentasi hampir sama dengan cara introduksi, bedanya adalah teknik augmentasi yang kita harapkan adalah populasi hama dalam satu musim tanam dengan cepat dapat ditekan sehingga tidak merugikan, sedangkan teknik introduksi bertujuan dalam jangka panjang dapat menurunkan aras keseimbangan populasi OPT sehingga tetap berada di bawah aras ambang ekonomi. Teknik augmentasi menggunakan musuh alami yang sudah berfungsi di ekosistem, sedangkan introduksi menggunakan musuh alami dari luar ekosistem.
Keberadaan inang alternatif sangat penting dalam mendukung kelestarian parasitoid dan predator terutama yang bersifat polifag dan oligofag (Laba, et al., 2000 : 207). Adanya vegetasi yang tumbuh dipinggiran sawah sangat berperan dalam menyediakan tempat sebagai inang alternatif bagi predator dan parasitoid (Herlinda et al., 2000 : 163), dan ini perlu dipertahankan karena menguntungkan bagi pelestarian musuh alami pada ekosistem persawahan karena tanaman liar yang tumbuh di dipinggiran sawah tersebut mampu menyediakan bunga follen, nectar yang dibutuhkan oleh musuh alami.
Ekosistem persawahan yang intensif umumnya adalah monokultur sehingga kurang memberikan habitat yang sesuai bagi musuh alami karena terbatasnya nektar dan inang alternatif. Hal ini dapat diatasi dengan memanfaatkan tepian lahan, pematang yang ditumbuhi tumbuhan liar sebagai koridor yang berfungsi dalam menyediakan pollen, nektar yang diperlukan oleh musuh alami, sehingga berfungsi dalam menekan populasi hama (Buchori dan Sahari, 2000 : 127).



Sumber: 
Buchori, D., dan Sahari, B., 2000. Keanekaragaman Serangga danb Pengendalian Hayati. Antara Pertanian dan Konservasi Alam. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi Pertanian. PEI dan KEHATI. Cipayung Bogor. 127-132 pp.
Herlinda, S., Kandowangko, D.S., Winasa, IW., dan Rauf, A., 2000. Fauna Artropoda Penghuni Habitat Pinggiran di Ekosistem Persawahan. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi Pertanian. PEI dan KEHATI. Cipayung Bogor. 163-174 pp.
Laba, I.W., Djatnika, K., dan Arifin, M., 2000. Analisis Keanekaragaman Hayati Musuh Alami pada Ekosistem Padi Sawah. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi Pertanian. PEI dan KEHATI. Cipayung Bogor. 207-216 pp.
Untung, K, 2003. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
http://cvrahmat.blogspot.com/2011/03/ekologi-hewan.html
http://ryanegy.blogspot.com/2010/12/pengendalian-hama-secara-biologis.html

Jawaban No 4
    Sasaran utama dalam belajar ekologi hewan adalah pemahaman mengenai aspek-aspek dasar yang melandasi kinerja hewan-hewan sebagai individu, populasi, komunitas dan ekosistem yang ditempatinya, meliputi pengenalan pola proses interaksi serta faktor-faktor penting yang menyebabkan keberhasilan maupun ketidakberhasilan organisme-organisme dan ekosistem-ekosistem itu dalam mempertahankan keberadaannya. Berbagai faktor dan proses ini merupakan informasi yang dapat dijadikan dasar dalam menyusun permodelan, peramalan dan penerapannya bagi kepentingan manusia, seperti; habitat, distribusi dan kelimpahannya, makanannya, perilaku (behavior) dan lain-lain. Oleh karena itu karakter dan sikap yang harus dimiliki dalam pembelajaran ekologi hewan.
1.cinta terhadap lingkungan, biotik maupun abiotik
2.memilki kesadaran  tentang interelasi hewan dengan lingkungan biotic maupun abiotik
3. memilki kepedulian terhadap hewan-hewan yang terancam punah
4. melakukan konservasi
5.mendirikan eko wisata
6.menyuarakan gerakan cinta lingkungan
    Sikap yang harus dilakukan seperti  diatas maka akan bermanfaat dalam memprediksi kelimpahan hewan  dan menganalisis keadaannya serta peranannya dalam ekosistem, serta menjaga kelestariannya, kegiatan lainnya yang menyangkut keberadaan hewan tersebut. Sebagai contoh, kita mempelajari salah satu jenis hewan mulai dari habitatnya di alam, distribusi dan kelimpahannya, makanannya, prilakunya, dan lain-lain. Setelah semua dipahami dengan pengamatan dan penelitian yang cermat dan teliti, maka pengetahuan itu dapat kita manfaatkan misalnya dalam menjaga kelestariannya di alam dengan menjaga keutuhan lingkungan, habitat alaminya,memprediksi kelimpahan populasinya kelak, menganalisis perannya dalam ekosistem, membudidayakannya serta kegiatan lainnya dengan mengoptimalkan kondisi lingkungannya menyerupai habitat aslinya.
    Kesadaran dalam konservasi adalah suatu sikap yang sangat di harpakan dalam belajar ekologi hewan, karena  manusia  berinteraksi dengan alam tidak hanya bertujuan mekanistik dan  materialistik saja, melainkan juga mengikat  interaksi tersebut dengan nilai-nilai religius yang universal, nilai-nilai kearifan budaya,  etika, bahkan sampai kepada dosa dan pahala.   “Tri-Stimulus Amar Pro-Konservasi” dapat memberikan suatu masukan bagi penyempurnaan teori sikap dan perilaku konservasi, khususnya sumbangan bagi determinasi
tentang kelompok stimulus untuk aksi konservasi sumberdaya keanekaragaman hayati yang harus menjadi satu kesatuan tindak yang utuh.
.  Pendorong utama sikap dan aksi konservasi dapat dikelompokkan  menjadi 3 kelompok besar, yaitu  stimulus alamiah,  stimulus manfaat  dan stimulus religius.  Ketiga kelompok stimulus ini tidak dapat dipisah dan harus telah mengkristal menjadi satu kesatuan sebagai stimulus kuat (evoking  stimulus)  penggerak, pendorong dan pembentuk sikap-perilaku untuk aksi konservasi.  Hal ini  sebagai  prasyarat terwujudnya  konservasi di dunia nyata atau di dunia grass root. (Amzu, 2006)
    Dalam konteks sistem nilai ke tiga kelompok stimulus  ini tidak lain adalah kristalisasi dari nilai-nilai : “kebenaran”, “kepentingan” dan “kebaikan”.  Kristalisasi atau  resultant  atau kombinasi dari nilai-nilai inilah yang dapat menjadi penggerak, penyeimbang dan pengendali terwujudnya sikap dan perilaku untuk aksi konservasi yang berkelanjutan di kehidupan nyata.   Sejarah  yang panjang  telah membuktikan, bahwa konservasi  itu baru dapat terwujud dikehidupan nyata, apabila pada setiap diri individu manusia memiliki keikhlasan  dan  kerelaan berkorban  untuk  kebaikan  orang lain dan untuk konservasi alam.  (Amzu,2006)

Sumber:
Amzu, Ervizal. dkk. 2006. Sikap masyarakat dan konservasi:  suatu analisis kedawung (parkia timoriana (dc) merr.) Sebagai stimulus tumbuhan obat bagi masyarakat, kasus di taman nasional meru betiri . Jurnal Medi Konservasi IPB: BOGOR  


Jawaban No.5
    Hewan yang dapat dijadikan indikator kontroling  terhadap kondisi lingkungan salah satunya adalah serangga. Serangga merupakan hewan yang paling banyak dimanfaatkan karena mudah ditemukan. Dengan mengenal serangga terutama biologi dan perilakunya maka diharapkan akan efisien manusia mengendalikan kehidupan serangga yang merugikan ini. Keanekaragaman yang tinggi dalam sifat-sifat morfologi, fisiologi dan perilaku adaptasi dalam lingkungannya, dan demikian banyaknya jenis serangga yang terdapat di muka bumi, menyebabkan banyak kajian ilmu pengetahuan, baik yang murni maupun terapan, menggunakan serangga sebagai model. Kajian dinamika populasi misalnya, bertumpu pada perkembangan populasi serangga. Demikian pula, pola, kajian ekologi, ekosistem dan habitat mengambil serangga sebagai model untuk mengembangkannya ke spesies-spesies lain dan dalam skala yang lebih besar.
    Manfaat serangga antara lain sebagai penyerbuk (pollinator) andal untuk semua jenis tanaman. Di bidang pertanian serangga berperan membantu meningkatkan produksi buah-buahan dan biji-bijian. Produksi buah-buahan dan biji-bijian meningkat sebesar 40 % berkat bantuan serangga dengan kualitas yang sangat bagus. Di Eropa dan Australia berkembang jasa penyewaan koloni serangga untuk penyerbukan yang melepas kawanan lebah menjelang tanaman berbuah. Serangga juga berperan sebagai organisme perombak (dekomposer) yang mendegradasi kayu yang tumbang, ranting, daun yang jatuh, hewan yang mati dan sisa kotoran hewan. Jenis-jenis seperti rayap, semut, kumbang, kecoa hutan dan lalat akan merombak bahan organik menjadi bahan anorganik yang berfungsi untuk regenerasi dan penyubur tanaman. Serangga juga berperan sebagai pengendali fitofagus (serangga hama bagi tanaman), sehingga tercipta keseimbangan alam yang permanen di dalam ekosistem hutan. Jika proses dalam rantai makanan itu terjaga maka dinamika ekosistem hutanpun akan stabil.
    Dari segi pengelolaan hutan, peranan serangga perlu diarahkan kepada pendugaan seberapa jauh serangga tertentu atau dalam hubungan simbiose yang seperti apakah sehingga serangga mempunyai peran sebagai spesies indikator, untuk memprediksi tingkat kepunahan spesies lain atau perubahan mikro lingkungan, habitat maupun ekosistem tertentu. Penggunaan bioindikator akhir-akhir ini dirasakan semakin penting dengan tujuan utama untuk menggambarkan adanya keterkaitan antara faktor biotik dan abiotik lingkungan. Bioindikator (Indikator biologi) adalah jenis atau populasi tumbuhan, hewan dan mikroorganisme yang kehadiran, vitalitas dan responnya akan berubah karena pengaruh kondisi lingkungan. Setiap jenis akan memberikan respon terhadap perubahan lingkungan tergantung dari stimulasi (rangsangan) yang diterimanya. Respon yang diberikan mengindikasikan perubahan dan tingkat pencemaran yang terjadi di lingkungan tersebut dimana respon yang diberikan dapat bersifat sangat sensitif, sensitif atau resisten (Speight et.al., 1999).
    McGeoch (1998) .dalam Shahabuddin, 2003 menyatakan bioindikator atau indikator ekologis adalah taksa atau kelompok organsime yang sensitif atau dapat memperlihatkan gejala dengan cepat terhadap tekanan lingkungan akibat aktifitas manusia atau akibat kerusakan sistem biotik. Pearson (1994) membagi indikator biologi atas tiga yakni :
1.    Jenis indikator, dimana kehadiran atau ketidakhadirannya mengindikasikan terjadinya perubahan di lingkungan tersebut. Jenis yang mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan lingkungan (Stanoecious) sangat tepat digolongkan sebagai jenis indikator. Apabila kehadiran, distribusi serta kelimpahannya tinggi maka jenis tersebut merupakan indikator positif, sebaliknya ketidakhadiran atau hilangnya jenis tersebut merupakan indikator negatif
2.    Jenis monitoring, mengindikasikan adanya polutan di lingkungan baik kuantitas maupun kualitasnya. Jenis Monitoring bersifat sensitif dan rentan terhadap berbagai polutan, sehingga sangat cocok untuk menunjukan kondisi yang akut dan kronis.
3.    Jenis uji, adalah jenis yang dipakai untuk mengetahui pengaruh polutan tertentu di alam.
    Penggunaan serangga sebagai indikator kondisi lingkungan atau ekosistem yang ditempatinya telah lama dilakukan. Jenis serangga mulai banyak diteliti karena bermanfaat untuk mengetahui kondisi kesehatan suatu ekosistem. Serangga akuatik selama ini paling banyak digunakan untuk mengetahui kondisi pencemaran air pada suatu daerah, diantaranya adalah beberapa spesies serangga dari ordo Ephemeroptera, Odonata, Diptera, Trichoptera , Plecoptera, Coleoptera, family Scarabidae, Cicindeliadae, Carabidae(Spellerberg,1995).
    Adapun untuk serangga daratan (‘terrestrial insect’) studi sejenis telah banyak dilakukan pada berbagai kawasan hutan di berbagai negera termasuk di kawasan hutan tropis. Mengingat banyaknya jenis serangga yang ada dibumi ini, maka studi terhadap serangga bioindikator kondisi hutan lebih banyak difokuskan pada kelompok serangga tertentu. Diantara taksa yang banyak digunakan sebagai biodindikator tersebut adalah famili Scarabidae, Cicindeliadae dan Carabidae dari ordo Coleoptera, beberapa spesies dari Ordo Hymenoptera dan Lepidoptera, serta serangga dari kelompok rayap atau Isoptera (Jones and Eggleton, 2000 dalam Shahabudin, 2003).
    Alfaro dan Singh (1997) melaporkan bahwa kelimpahan invertebrata (yang didominasi oleh serangga) pada kanopi hutan umumnya lebih tinggi pada hutan-hutan yang belum rusak yang menunjukkan bahwa mereka merupakan bioindikator yang ideal terhadap kesehatan hutan. Hilszczanski (1997) menggunakan keanekaragaman kumbang (Coleoptera) dari kelompok trofik yang berbeda sebagai indikator atas efek jangka panjang aplikasi insektisida pada ekosistem hutan. (Culotta 1996, dalam Alfaro & Singh, 1997) melaporkan bahwa biodiversitas yang tinggi menyebabkan ekosistem lebih resisten terhadap serangan penyakit dan penyebab kerusakan hutan lainnya yang menurunkan produktivtas primer ekosistem. Sebaliknya, kehilangan biodiversitas menyebabkan tidak stabilnya ekosistem hutan.
    Peran serangga sebagai bioindikator ekosistem hutan telah didemonstrasikan dengan baik oleh Klein (1989) yang menguji peran kumbang bubuk dari ordo Coleopterafamili Scarabidae terhadap dekomposisi kotoran hewan pada habitat yang berbeda yakni hutan alami, hutan terfragmentasi dan padang rumput (bekas hutan tebangan) di Amazon bagian Tengah (Central Amazon ). Laju penguraian kotoran hewan menurun sekitar 60 % di hutan alam dibandingkan padang rumput. Meskipun kelimpahan kumbang bubuk pada ketiga habitat tersebut tidak berbeda nyata namun terjadi penurunan sekitar 80 % jumlah jenis kumbang bubuk di padang rumput. Hal ini menegaskan bahwa setiap jenis kumbang bubuk memiliki peran yang cukup penting dibandingkan jenis lainnya sehingga semakin tinggi biodiversitas kumbang bubuk dan serangga lainnya menunjukan kestabilan ekosistem hutan yang semakin mantap.
    Kumbang bubuk banyak digunakan dalam studi bioindikator terhadap tingkat kerusakan hutan karena mereka memiliki peran ekologis yang penting dalam ekosistem hutan tropis. Kumbang ini bersama dengan serangga lainnya merupakan organisme dekomposer yang sangat penting, sehingga menentukan ketersediaan unsur hara bagi vegetasi hutan. Mereka juga terlibat dalam penyebaran biji-biji tumbuhan dan pengendalian parasit vertebrata (dengan menghilangkan sumber infeksi). Distribusi lokal dari kumbang bubuk sangat dipengaruhi oleh tingkat naungan vegetasi dan tipe tanah. Selain itu struktur fisik habitat menjadi faktor penting yang mempengaruhi komposisi dan distribusi kumbang bubuk (Davis et al. 2001). Oleh karena itu kelompok serangga ini merupakan indikator yang berguna untuk menggambarkan perbedaan struktur (bentuk arsitek, abiotik) antara habitat. Jadi berbeda dengan serangga lainnya yang menggambarkan perbedaan floristik (Komposisi spesies,biotik) suatu habitat melalui spesialisasi herbivora (seperti pada ngengat dan kupu - kupu).
    Studi awal oleh Sahabuddin (2003) menunjukkan adanya pengaruh tata guna lahan terhadap keanekaragaman kumbang bubuk pada pinggiran hutan yang terletak di dataran tinggi (diatas 100 mdpl). Ditemukan adanya indikasi bahwa spesies kumbang bubuk tertentu dari genus Onthopagus relatif toleran terhadap adanya kerusakan habitat sehingga potensi diusulkan sebagai salah satu spesies indikator. Meskipun demikian hal masih perlu dikaji lebih jauh terutama dengan melakukan penelitian yang sejenis pada hutan hujan tropis di dataran rendah. Hal ini sesuai dengan Weaver (1995) bahwa untuk melihat sejauh mana potensi suatu organisme sebagai bioindikator diperlukan pengambilan sampel secara berulang pada kondisi lingkungan yang sama tetapi pada tempat dan musim yang berbeda. Kelimpahan invertebrata (yang didominasi oleh serangga) pada kanopi hutan umumnya lebih tinggi pada hutan-hutan yang belum rusak yang menunjukkan bahwa mereka merupakan bioindikator terhadap kesehatan hutan (Alfaro dan Singh, 1997).
Sumber:
http://ekologi-hutan.blogspot.com/2010/11/peranan-serangga-sebagai-spesies.html

Jawaban No.6
pengetahuan relung sangat penting dalam malakukan konservasi pada hewan, antaralin mengetahui fungsional hewan itu dalam habitat yang ditempatinya sehubungan dengan adaptasi-adaptasi fisiologi, structural dan pola prilakunya. (relung) ekologi mencakup ruang fisik yang diduduki organisme , dapat mengetahui peranan fungsionalnya di dalam masyarakatnya (misal: posisi trofik) serta posisinya dalam kondisi lingkungan tempat tinggalnya dan keadaan lain dari keberadaannya itu.  aspek relung  dapat dikatakan sebagai relung atau ruangan habitat, relung trofik dan relung multidimensi atau hypervolume. Oleh karena itu relung ekologi sesuatu organisme tidak hanya tergantung pada dimana dia hidup tetapi juga apa yang dia perbuat (bagaimana dia merubah energi, bersikap atau berkelakuan, tanggap terhadap dan mengubah lingkungan fisik serta abiotiknya), dan bagaimana jenis lain menjadi kendala baginya..
    Burung kakatua adalah binatang yang luarbiasa setia,bulu mereka sangat lembut dan mereka indah. Yang terpenting relung mereka sangat pintar dan burung ini selalu ingin tau tentang sekitar lingkunganya. Burung kakatua senang pamer diri dan membuat tingkah lucu dengan membentangkan sayapnya, kepalanya naik turun ,menari dan berteriak.
    Burung ini memojok dan berkelakuan sangat berbeda dibanding burung parrot lainnya. Mereka lebih banyak mempunyai warna bulu burung yang sewarna, seperti putih atau hitam dan mereka mempunyai kepala yang tegak lurus, kemampuan bergerak mengikuti sesuatu. Paruhnya sangat besar dan kuat dan mereka dengan mudahnya menghancurkan objek.
    Kakatua di duga burung yang hidup paling lama dari jenis parrot lainnya seperti contoh jenis greater sulphur-crested mempunyai hidup hamper 100th. Sangat susah untuk menjelaskan umur dari kakatua, bagaimanapun kakatua yang muda mempunyai paruh lebih lembut dan pucat warnanya dan bulu burung yg lebih pucat, sementara burung yang tua mempunyai paruh yang lebih gelap dan punya striations dan bulu burung sudah penuh dengan warna
    Dari beberapa spesies kelopak matanya yg betina akan berwarna merah ke coklat setelah 2 tahun. Ini membantu untuk menentuka jenis kelamin dari burung tersebut. Warna mata tidak nyata dalam beberapa spesies. Dalam kasus ini jenis untuk mengetahui jenis kelamin harus dengan penyelidikan ilmu kedokteran. endoscopy, dapat dilaksanakan dengan bantuan dokter hewan atau dari test dna nya, biasanya sample darah atau beberapa helai bulu burung dikirim untuk diperiksan dalam laboratorium
    Burung kakatua mempunyai tempat tinggal alam yg dapat ditemui sebagian besar Australia dan Indonesia. Mereka ditemukan dalam 3 wilayah yang berbeda, hutan tadah hujan yg basah dan mempunyai temperature udara yang tinggi, tanah dataran rendah berumput dan pdang rumput yg luas dan kering
    Ada 18 spesies dari burung kakatua (termasuk dalam burung nuri) dan 37 sub spesies, haya sedikit yag orang tahu untuk keperluan import. Kakatua adalah binatang yg langka dan dilindungi. Larangan keras untuk mengekspor seluruh burung dari Australia, jadi burung yg masih muda tersedia untuk dijual umum di amerika adalah hasil ternakan.
    Perawatan untuk kakatua musti termasuk mandi pancuran /berendam seminggu sekali untuk mengumpulkan debu pada sayap dan agar bulu burung punya bentuk yang bagus. Pancuran dapat lebih bagus bila dibantu dengan tangan yang menahan semprotan air atau selang yang diberikan spray head yang bagus dan air yg hangat kuku. Mangkuk untuk berendam /wadah keramik berukuran 12-14inc atau (30-35cm) dapat ditempatkan pada bawah kandang atau tinggi /jarak dari lantai 39inc atau 1 meter apabila punya kandang burung yang besar. Sayapnya harus dijaga tetap seimbang jika kamu ingin burung tersebut tidak kehilangan semangat untuk terbang dan mencegah untuk kehilangan peliharanmu kabur melaui jendela/pintu. Paruh dan cakar butuh di tumpulkan agar mereka tidak merusak ketika memanjat dan mengigit. Bny macam tipe perches yg tersedia untuk tetap menjaga kuku tumpul, tapi mereka tetap butuh di tumpulkan apabila telah tumbuh.
    Kakatua akan menghancurkan mineral block ,lava blocks dan yg dapat dihancurkan dengan paruhnya dengan cepat dan mereka tidak mau membuat paruhnya tumpul.Di habitat aslinya burung Kakatua Putih(Cacatua alba) memakan buah.buahan, biji.bijian. sayuran. serangga dan larvanya.
    Burung Kakatua Putih (Cacatua alba) hidup berpasangan atau berkelompok dalam jumlah kecil. Sangat mencolok ketika terbang dengan kepakan sayap yang cepat dan kuat. diselingi gerakan melayang serta saling berteriak. Burung ini mempunyai kebiasaan berpegang pada dahan atau cabang pohon. Pada musim kawin burung jantan akan memperlihatkan pada burung betina beberapa gaya seperti meloncat. mengembangkan sayap. mengangkat ekor. dan berjalan di depan betina untuk menarik perhatiannya
    Jenis Burung betina bertelur jumlahnya di atas tiga butir. kemudian diletakkan dilubang pohon tempat burung tersebut bersarang. Telur tersebut dierami secara bergantian.antara burung jantan dan burung betina.
Sumber:
http://m-sanusi.blogspot.com/
http://biologisimple.blogspot.com/2012/12/habitat-dan-relung.html




          

0 komentar:

Posting Komentar

Sample Text